
Pada tanggal 20 Oktober 2016, Donald Trump dan Hillary Clinton bertemu saat makan malam bersama di New York City. Ceritanya, mereka saling berkomentar. Kata Trump, “you know you are one tough and talented woman”. Lalu ia menambahkan, “this has been a good experience. This whole campaign, as tough as it has been”.
Hillary tak mau ketinggalan kereta. Ia membalas komen. “Donald, whatever happens, we need to work together afterward”. Begitu kata dia.
Penulis Doug Wead mengisahkan kisah itu secara baik dalam bukunya berjudul “Game of Thorns: The Inside Story of Hillary Clinton’s Failed Campaign and Donald Trump’s Winning Strategy” (Biteback Publishing, 2017).
Setelah General Election 2016, Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika. Sebagai seorang yang rasional, Hillary Clinton mengakui hasil pemilihan. Ia tak bikin onar. Ia tahu, sebagian besar pemilih Amerika menghendaki Trump menjadi presiden.
Yang bikin “onar” justru Mr. President itu sendiri. Di dalam negeri, begitu banyak kebijakan kontroversi yang terjadi. Mulai dari kebijakan membangun “huge wall” (batas antara Amerika dan Amerika Latin) sampai “perang dingin” melawan Rusia (yang saat kampanye disinyalir Trump dibela oleh para hacker Rusia).
Terlepas dari soal itu, poin politisnya adalah ada keinginan Hillary untuk bekerja sama meskipun ia kalah dalam pemilu. Tafsirnya, ia sesungguhnya sang pemenang. Memang Hillary kalah dalam “pertempuran” Pemilu, tetapi menang dalam “perang” politik. Tentu, karena ia bebas dari beban dan ego politik.
Tentang itu, Doug Wead mengutip quote terbaik dari Sun Tzu. “Victorious warriors win first and then go to war, while defeated warriors go to war first and then seek to win”. Hillary adalah “victorious warrior” itu. Dalam dirinya, ia menang karena mampu berdamai dengan apa pun risiko politik yang dia terima.
Berbeda dengan realitas politik di Amerika, publik Indonesia mendapati realitas yang jorok atas politik Pemilu. Hasil Pemilu 2019, bayangan kasar siapa yang akan menjadi pemenangnya sudah ada. Beberapa pemimpin dunia sudah memberikan profisiat kepada presiden dan wakil presiden terpilih.
Masyarakat Indonesia pun sudah hakul yakin bahwa Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin. Itu diketahui sejak hari setelah pemilihan hingga hitung cepat KPU. Nyaris dua digit prosentasinya antara yang menang dan kalah. Puluhan juta suara bedanya.
Tetapi mengapa pihak yang kalah terus melakukan akrobat politik? Dengan dalil quick count sendiri, mengangkat diri sebagai pemenang. Tak tanggung-tanggung, empat kali mendeklarasikan diri sebagai pemenang. Sekali deklarasi mungkin belum sah atau belum “viral”.
Tidak berhenti di situ saja, KPU malah dituduh curang. Disumpahin lagi. Masyarakat diprovokasi untuk melakukan people power a’la Filipina. Semacam mosi tidak percaya kepada pemerintahan yang sah.
Mungkin itulah yang dimaksudnya Sun Tzu dengan istilah “defeated warrior”. Waktu kampanye politik lebih banyak hoaks emosional yang dibuat daripada visi rasional. Setelah kalah, ngamuk-ngamuk untuk mencari kemenangan. Astaganaga!!!
Alfred Tuname
Esais
Catatan redaksi : Esai ini adalah tulisan pribadi penulis, isinya tidak mewakili pandangan redaksi SorotNTT.com