Kampanye Pilpres, Stop Perang Diksi dan Narasi

Emrus sihombing

Sejak kampanye Pilpres 2019 di mulai hingga kini, disadari atau tidak oleh sebagian aktor politik dari dua poros, seakan terjebak pada perang diksi dan narasi. Selain tidak produktif, perilaku komunikasi politik semacam ini sangat tidak mendidik masyarakat dan bisa menjauhkan kita dari komunikasi politik keberadaban, sebagaimana tertuang pada sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Utamanya pada kata, “beradab”.

BACA JUGA:  Alumni Jogja Satukan Indonesia: Jokowi Akan Bersepeda

Diksi dan narasi yang muncul seolah berhadap-hadapan antara poros yang satu dengan poros yang lain. Di satu sisi muncul ungkapan dan narasi tentang ekonomi kebodohan, menteri pencetak utang, anggaran negara bocor Rp 500 triliun, negara punah. Semua itu sangat abstrak. Di sisi lain mengemuka pandangan dan ungkapan terkait konsep politik sontoloyo, genderuwo dan propaganda Rusia. Sebutan ini juga masih sulit untuk merumuskan batasannya. Lontaran dari kedua kubu tersebut, dari aspek komunikasi, berpotensi menimbulkan polarisasi “sempit” di tengah masyarakat. Berdasarkan pandangan kedua kubu tersebut, saya berpendapat, pola komunikasi politik semacam ini harus sesegera mungkin kita hentikan.