Perpisahan Sementara

Marselinus Koka, RCJ
Tinggal di 65 Hannibal Street, Merville Park Paranaque City, Manila-Filipina

Amy baru bangun, saat wajar masuk melalui jendela rumah, kira-kira tepat pukul enam subuh. Dia kaget ketika burung-burung kecil yang bertengger di dahan pohon mulai ramai-ramai bersiul menyambut pagi yang mentarinya sedikit lagi terjaga. Ada pemandangan yang berbeda di kamar tidurnya pada pagi ini. Jika yang sudah-sudah ketika Amy bangun Ia selalu cepat-cepat digendong ibunya, kali ini tidak. Ibunya yang sejak dulu selalu setia menemaninya tidak lagi terlihat berbaring disampaingnya atau datang menggendongnya. Di sampingnya hanya selembar selimut yang masih berantankan. Ke mana ibunya pergi, ia tidak tahu.

Saat mendengar Amy bangun, Yanto ayahnya tiba-tiba datang menyapa dan memeluknya, serta mencium keningnya. Sambil mengusap-usap wajah kecilnya, Amy langsung memanggil ibunya. Yanto berbisik kalau ibunya sedang ke rumah tetangga. Mendengar itu, Amy hanya menganguk kecil lalu diam. Anak kecil memang telah menjadi bagian dari ibunya selama sembilan bulan. Mereka sudah sering merasakan pelukan ibu ketimbang pelukan ayah. Jadi tak heran jika mereka sering memanggil nama ibunya terlebih dahulu ketimbang ayah mereka. Ada semacam sebuah kedekatan batin yang sudah sangat erat dan menyatu antara anak dan ibu.

Amy anak manis ini memang tidak sadar jika semalam Cory ibunya itu cepat-cepat berangkat ke sebuah kota untuk sesuatu yang amat penting. Entah apa urusannya hanya ayahnya yang persis tahu soal itu. Sejak tadi malam saat Cory pergi, Yanto sungguh cemas akan apa yang terjadi dengan Amy putri mereka dalam beberapa minggu ke depan. Yanto sangat yakin ia akan kewalahan meyakinkan Amy di hari-hari mendatang. Kecemasan itulah yang membuat dia sulit tidur sepanjang malam. Kekwatiran Yanto memang benar. Pagi ini Yanto sudah memperlihatkan bahwa ia tidak mampu membuat Amy merasa nyaman dengannya. Sudah ada banyak jawaban yang ia berikan pada Amy sekadar untuk membuat anaknya itu tidak menangis. Tetapi semuanya percuma. Pagi ini Amy menangis sejadi-jadinya, Ia ingin mamanya datang mengendong dari tempat tidur seperti pada pagi sebelumnya.
Di tempat tidur, Amy perlahan-lahan membanting diri memaksa agar ibunya cepat datang. Yanto, sudah tak sabar dengan ulah putri kecilnya itu. Ia sudah jengkel, namun mencoba untuk sabar. Sesekali ia berpikir untuk mencubit lengan putrinya tapi ia batalkan. Kalau itu terjadi maka suasana pun akan makin kacau. Tindakan seperti itu memang tak akan mungkin Yanto lakukan sebab hal itu sangat bertentangan dengan karakternya yang melekat pada dirinya selama ini. Yanto dari dulu dikenal sebagai seorang pria penyayang. Sejak membangun rumah tangga bersama Cory kedua tak pernah sedikitpun bertengkar. Ia takkan pernah berlaku kasar terhadap Cory. Secara total ia mencintai Cory istrinya dan apalagi putri kecilnya itu. Cintanya ibarat bunga dan kubang selalu saling memberikan.

BACA JUGA:  Memburu Katak

Yanto cepat-cepat ke lemari mengambil sebuah plastik lalu menyodorkan sebungkus biskuit kesukaannya. Walau begitu Amy masih terus memanggil nama ibunya. Bahkan lebih keras dari sebelumnya. Menangis di pagi hari memang sungguh mengusik hati. Amy baru benar-benar diam setelah dia merasa capai menangis.

Perpisahan Cory bersama Yanto dan Amy putri kecilnya sebenarnya berawal dari dering hape tadi malam. Semalam langit dipenuhi awan. Bintang dan bulan tak mampu memancarkan sinarnya. Cuaca di luar rumah juga teramat dingin. Menusuk pori-pori tubuh. Lalu lalang kedaraan sudah berhenti. Lorong dan gang sudah begitu sepih. Tepat jam dua subuh hape Cory yang terletak persis di samping tempat tidurnya tiba-tiba berdering. Setelah beberapa kali deringnya tak ia hiraukan, akhirnya ia menjawab walau terpaksa. Cory begitu kaget ketika mengetahui bahwa ternyata itu adalah panggilan dari kepala rumah sakit tempat ia bekerja. Ia sudah mengira kalau panggilan di tengah malam itu selalu berkaitan dengan hal-hal mendesak. Pembicaraan mereka tidak lama sebelum telepon itu di matikan. Cory cepat-cepat membangunkan suaminya yang sedang tertidur pulas. Dengan nada yang teramat berat bercampur air mata, Cory memberitahu suaminya bahwa dia harus pergi malam itu juga bersama beberapa dokter untuk menangani pasien covid di kota sebelah. Pembicaraan mereka sangat singkat sebelum akhirnya Cory pergi meninggalkan dua buah hatinya itu.

Di depan pintu rumah berbalutkan langit yang kusam kedua merasahkan betapa hancurnya hati mereka masing-masing. Keduanya mengerti bahwa bagian terberat dari sebuah perkawinan adalah perpisahan. Mereka merasa, seolah-olah hidup tak lagi punya masa depan. Walau dalam nada cemas yang ngeri, keduanya berkomitmen untuk tetap saling percaya. Keganasan virus sempat membuat Amy takut setengah mati. Ia sudah membayangkan jika satu saat ia tertular. Maka apa yang akan terjadi dengan Yanto dan Amy putrinya itu. Malam ini Amy tidak punya pilihan lain selain pergi demi tugas dan panggilannya iu. Ia harus merelakan perpisahan dengan suami dan purtri kecilnya itu. Sebuah malam yang paling berat dan penuh ketegangan. Di depan pintu, ada air mata, takut, cemas dan cinta yang terkoyak.

BACA JUGA:  Kopi Kebohongan

Sudah seminggu Amy tidak bertemu dengan ibunya sejak malam itu. Rindunya semakin mengebu-gebu. Ia hanya bisa menangis setiap hari. Perpisahan itu begitu menyiksa dan mengikis hatinya yang masih terlalu dini itu. Anak seumur Amy memang belum pantas untuk ditinggalkan. Ia butuh disusi dan dibelai oleh ibunya. Karena keseringan menangis Amy semakin susah untuk berbicara. Tenggorokan kecilnya serak dan sakit. Tubuhnya pun lebih turun dari sebelumnya.

Tanda-tanda kepulang Cory belum ada. Yanto sang suami kadang menangis sendirian. Ia seolah-olah merasa bahwa tidur malam itu bersama istrinya akan menjadi yang terakhir kalinya. Perasaannya semakin kacau dari hari ke hari, ketika ia meyaksikan berita yang memperlihatkan banyaknya korban berjatuhan termasuk beberapa teman Cory. Perasaan yang sama pula menggerogoti isi kepala Amy. Di tengah membludaknya pasies, Amy kadang menangis sendirian dan sepertinya ingin lari dari kenyataan itu. Hati kecilnya cemas jangan sampai malam itu menjadi malam terakhir ia melihat suami dan anak semata wayangnya.

Sudah satu bulan lebih perpisahan itu terjadi. Tak banyak berita dari Cory mengenai keadaanya. Setiap hari di rumah, Yanto dipenuhi oleh cemas dan kegugupan yang luarbiasa. Bagi Yanto merelakan kepergian seseorang yang pernah ada dalam hidup merupakan hal yang sulit dan membunuh. Begitu juga Cory. Meninggalkan suami dan anaknya merupakan peristiwa yang paling ia sesalkan. Hampir satu bulan lebih, Amy benar-benar seperti seekor ayam tanpa ibu. Yanto juga hanya sebatang kara. Apakah Cory nantinya akan membawa kabar baik atau membawa kabar buruk, semuanya sulit diprediksi. Selanjutnya apakah masih ada pertemuan yang kedua kalinya atau justru Cory akan menjadi korban selanjutnya juga adalah teka-tekai yang sulit dijawab. Baru kali ini Yanto merasakan situasi seperti itu. Rasa galaunya sudah masuk tingkat dewa dan paling menyedihkan. Walau begitu Yanto selalu berusaha menyibukkan diri dengan berbuat sesuatu. Ia selalu percaya bahwa Cory akan pulang dalam waktu dekat. Selama satu bulan lebih itu, Yanto selalu menghabiskan waktunya di sudut rumah. Ya, disudut rumah tempat di mana patung Tuhan Yesus dan Bunda Maria diletakan. Di depan kedua patung itu, air mata dan semua perasaan hatinya ditumpahkan begitu saja.

BACA JUGA:  Romo Aldy

Cory merasakan hal yang sama. Kadang ia merasa putus asa dan ingin. Dalam hati Cory menggerutu, ah seandainya saja sudara dan saudariku di luar sana bisa mengontrol diri dan mengkuti saran para pemimpin barangkali aku tidak secape ini. Atau jika saja masyarakat tidak egois dan menjaga diri barangkali aku dan kawan-kawan bisa bekerja tanpa tekanan dan ketakutan yang luarbiasa. Batinnya”. Semua persoalan dan kelelahan tersebut hanya bisa menjadi harapan hampa. Dia hanya bisa bertahan dan memberikan semua kekuatan demi memperpanjang hari-hari hidup para pasien. Cory yang awalnya ingin menyerah, perlahan-lahan menjadi sangat tulus melayani pasien. Karena kesibukan dan dedikasinya itu, Cory sampai lupa makan, lupa istirahat dan bahkan ia lupa mengingat hari ulang tahunya. Memang ia tak terlalu peduli dengan semuanya itu. Intinya, kehadirannya bisa memberikan kekuatan serta kesembuhan bagi orang-orang yang ia layani. Kini banyak pasien yang dinyata sembuh. Bagi Cory kesembuhan mereka adalah hadiah ulang tahun terbaik dalam hidupnya.
.
Penantian panjang antar Yanto dan Cory pada akhirnya memiliki ujungnya. Saat memasuki bulan yang kedua keyakinan Yanto bertamba kuat. Dia yakin dalam waktu dekat Ami pasti pulang. Prediskinya tepat. Sore itu saat senja baru tenggelam dan perlahan berganti malam, sebuah mobil putih tiba-tiba berhenti di depan rumah. Selang tiga menit kemudian seorang perempuan cantik mengetuk pintu rumah. Ia adalah Cory, ibu Amy dan istrinya. Berbalutkan senyum dan tanggis di wajahnya Cory berteriak sekuat mungkin menyapa Yanto dan Amy putrinya. Ketiganya tenggelam dalam pelukan.

Note: Cerita ini sesungguhnya karya fiktif belaka. Penulis terinspirasi oleh peristiwa dunia alami saat ini. Cerita kecil ini sebetulnya bertujuan untuk memberikan harapan bahwa apapun kenyataan yang dialami dalam hidup, kita harus yakin bahwa semuanya akan berlalu.