Exefer Joak-im
Dari Kaki Gunung Ranaka
Sabtu di ujung hari, saat hendak berpulang ke kamar, berbagi segelas kopi adalah alasan yang nikmat untuk menyulam kenanganan dengan tetangga-tetangga kamar. Jaring-jaring kisah akan dengan sendirinya terhubung bila diucapkan. Mungkin ini menjadi cara istimewa mendulang gembira, menertawakan konyolnya diri, melampiaskan amarah dan rasa kecewa.
Pada moment ini, tanpa disadari aku hanyut termenung dan diantar kembali pada tanggal 10 Agustus, 9 tahun silam. Seorang pastor menerima kedatanganku dan rekan-rekan anggota baru. Wajah polos dan aroma liburan jelas tergambarkan dari penampilan. Aku berdiri dalam kerumunan dan mendengarkan sambutan selamat datang dari seorang pria usia 50-an. “Kamarnya pas untuk seorang. Berukuran 3×2 meter. Diisi dengan sebuah tempat tidur, lemari pakaian, bangku, meja, salib, dan rak buku. Selain dari itu, silahkan tambah sendiri.” Akhir dari sambutan itu. Sambutan ini mungkin menjadi sambutan turunan yang akan terus diwariskan.
Sejak saat itu, kamar menjadi awal dan muara dari rutinitas harian. Kamar menjadi teman, rumah, musuh, buku, dan dunia. Suka atau benci, kamar menjadi satu-satunya yang menerima aku apa adanya, seburuk apapun aku penghuninya. Maka, tidak ada kata salah jika kamar adalah saksi terpercaya dari identitas seorang frater. Ia tahu yang tampak dan tersembunyi, meskipun ia tidak bermulut, tidak bertelinga, tidak bermata, tidak berindra. Tetapi, keberadaannya seperti persona, yang menghuni. Ia adalah seperti keaslian dari seorang frater.
Berkumpul adalah cara hasilkan buih-buih candaan dan merajut kisah. Di lapangan, di tempat kerja, di kampus, di taman, di kamar mandi, dan bahkan di kama. Di situlah kenangan itu akan direkam. Kali ini, berkumpul adalah mungkin cara kami beriklan, bahwa kami adalah peneguk kopi. Kopi mengikat kami dalam satu kisah yang sama, yang jalan panggilannya pernah terantuk refleksi dan akumulasi teguran. Kenyataan ini memang pahit, tetapi jalan ini tetap diteguk, karena di situlah letak nikamatnya. Seperti filosofi kopi, hitam pahitnya selalu memberi nikmat kepada pecintanya.
Bero mengajak kami membayangkan kehidupan di seminari. “Coba kita bayangkan. Siapa yang tahu, frater merokok dan puntungnya disimpan dilaci meja, yang telepon maitua hingga telat misa pagi, yang PS-an sampai lupa makan, yang bolos pergi pesta di Maumere, yang mabukan saat hari ulang tahun, atau mungkin nonton film blue dari kaca mata teologi tubuh. Meskipun kamar bukan penulis dan penutur, kamar lebih tahu tentang frater, dari yang ditulis dalam correctio fraterna, yang ditanyakan oleh romo pendamping saat ratio pribadi, dan yang tampak dalam kerumunan. Hehehe,…”.
Bero menutur dengan tipikal imajinatif. Kata-katanya seperti menyingkap kepalsuan diriku, yang tenggelam dalam kerumunan. Bero seolah-olah membicarakan siapa aku, atau mungkin ini alasan dia menggantung jubah.
Vicko menambahkan, “kisah seorang frater adalah kisah tentang kamar, yang pergi dan pulang ke kamar. Kisah tentang pergantian kamar dari tingkat ke tingkat. Dalam ziarah itu, kamar seolah-olah menjadi simbol kesetiaan dan kepercayaan tentang pasangan kekasih. Ia tidak membenci, tidak bergosip, tidak menggurui, tidak mengatakan apapun, walau frater mengkhianati keberadaannya berkali-kali. Ia tahu, tetapi berpura-pura tidak tahu.”
“Kamar mungkin satu-satunya yang menyangkal aku sebagai frater,” Dono memotong pembicaraan Vicko. Seperti gemuruh guntur tanpa mendung, kami membisu dan menatap kepadanya.
“Hanya kamar yang tahu aku tidak berdoa, tidak membaca Alkitab, patung Maria dan salib hanya pajangan, pergi misa tanpa persiapan, dan bahkan jubah dipakai untuk tidur. Aku adalah seorang frater, tetapi serentak bukan seorang frater. Frater yang aku miliki seperti baju saja, yang sesukannya dikenakan dan dilepas.” Lanjut Dono syeringkan pengalamannya.
Aku terdiam, seraya meneguk sedikit kopi. Dalam kalbu, aku membenarkan syering dari Dono. Frater tidaklah selalu seperti yang gambarkan dalam cerita-cerita aksi panggilan, yang dilihat saat kunjungan Live in ke paroki-paroki, yang tampil di video-video dengan jubah anggunnya, atau saat sedang misa. Semua yang diperlihatkan dan ceritanya adalah yang baik-baik dan indah. Seolah-olah frater adalah malaikat, tanpa cacat cela. Dono terlalu jujur. Ia membangunkan kesadaranku. Cerita tentang frater adalah cerita tentang kelemahan dan keterbatasan orang-orang yang dipilih. Cerita dari orang-orang yang dipanggil untuk mengalahkan kelemahan dan godaan manusiawi, yang jatuh dan bangkit berkali-kali, dan yang bermuka dua untuk menyelamatkan panggilan. Salahlah sikap yang mengkultuskan frater, yang menempatkannya seperti sakramen. Frater juga manusia. Perasaan berkecamuk diriku, membela frater.
Alarm doa Angelus sore tiba-tiba memecah percakapan kami. Sambil saling menatap, tanda penentuan pemimpin doa, kami amati sosok yang layak. Tapi, Dono dengan segera mengajak “Marilah kita berdoa”. Seketika, kami menunduk kepala dan menandakan tanda salib.
Percakapan sore masih terbawa hingga saat jam tidur malam. Ada perasaan berkecamuk dalam diriku. Pertanyaan-pertanyaan gugatan bermunculan tak terbendung. Apakah frater itu penuh kepalsuan? Apakah frater susah dipercayai? Apakah frater munafik? Aku duduk di kursi, amati kamarku yang dilaburi cat putih, tumpukan buku-buku teologi dan filsafat di meja dan raknya, dan segelas ampas kopi yang masih layak diputar. Tak puas, aku berdiri pandangi malam lewat jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Lampu-lampu di unit-unit telah mati. Bintang-bintang malam pun tampak terang dipandang mata. Indah dilihat bila gelap.
Aku tuangkan air panas pada gelas berampas kopi, cukup untuk memberi warna dan menipu mata sang pelihat. Dalam kalbuku, suara penegasan meletup halus. ‘Kamar, ya di dalam kamar. Rahasia terbesarku ada di dalam kamar. Hampir sebagian besar hidupku dihabiskan di dalam kamar. Wajarlah ia tahu, siapa aku? Asliku sering ku simpan dan sembunyikan di dalam kamar. Yang dibawa pergi keluar dan terlihat adalah pencitraan. Aku tak mau yang asliku menjadi batu sandungan dan merenggut panggilanku.’
Aku seruput kopinya. Rasanya telah habis, tapi entalah, tofles bubuk kopi telah habis. Kiriman dari kampung tidak bisa diantarkan lagi, karena bus-bus antar-kota terhenti akibat covid 19. Saat seperti ini, ampas kopi bisa dinikmati untuk 3 sampai 4 putaran. Yang dibuang sebelumnya, kini jadi berharga.
Aku mengira-ngira, ‘seandainya kamar bisa ditanya, mungkin kamar adalah pose telanjang dari frater. Kamar tahu yang tersembunyi dan dirahasiakan dari frater. Dan, kejujuran ini bisa menjadi halangan besar menuju imamat. Mungkin, pada posisi ini, kamar harus disyukuri. Ia tidak mengatakan apapun tentang yang asli dari frater. Kamar mendukung keinginan dan keputusan frater, apapun pilihannya. Kamar mengerti, yang dibuat frater adalah ziarah pencarian identitas dan keaslian dirinya.
“Bangun-bangun, sudah jam 10.00. Matahari sudah terik.” Mama kecilku membangunkan aku dengan nada menyindir. Ia bosan membangunkan aku dalam satu minggu ini, yang hanya menghabiskan malam untuk chatting dan cek angka-angka Togel. Aku bangun dan terkejut. Dalam kalbu aku berujar, ‘syukurlah, rupanya aku bermimpi. Aku tidak mau kembali. Aku yang kini bukan yang dulu lagi. Atau, jangan-jangan, mungkin angkanya akan keluar siang atau sore ini. Pas sudah, ‘kamar frater atau frater kamar, 16 atau 61.’ Hehehehe.