Oleh: Gerard N.Bibang
TOROK
Segera engkau tahu siapa dirimu, serentak warta untuk aku dan teman-teman kelasmu tentang seperti apakah hidup ini sejatinya, ketika di lembah permai Kisol, engkau selalu diampukan terdepan mengucapkan torok, melantangkan sastrawi manggarai ke langit-langit semesta. Tak satu pun kata Indonesia terselip. Mengalir kata-kata manggaraimu bagaikan anak sungai meriak-riak hilir tanpa arah kembali.
Yah, torok-mu adalah kata-mu, lagak-laku-mu, proklamasi-mu, hadir-mu, diri-mu, hidup-mu. Maka torok-mu adalah identitasmu, adalah jati-diri-mu. Ketika engkau menyebut setitik debu, yah, debu-lah engkau yang dirangkai dari berbagai serpihan, yang diendus dalam beragam kepingan, yang dirawat dalam doa, yang dramatis dan memberontak lebih-lebih ketika maling datang atas nama korporasi atau ideologi pembawa kesejahteraan yang melibas martabat manusia, yang membuatmu tidak gampang lupa bahwa tanah dan kebun sejatinya untuk siapa dan dari siapa.
Torok-mu adalah intimitas-mu dengan Mori Keraeng Ema Pu’un Kuasa*, adalah hidupmu yang tidak dibatasi pada apa yang terlihat kasat-mata dan yang dikalkulasikan untung rugi dalam perhitungan dunia. Dan yang terbalut dalam imamat tahbisan. Jadilah engkau bukanlah apa-apa di depan kemahaluasan semesta.