Seandainya Masyarakat Sebelah Wae Musur Mengerti Politik

Alfred tuname

Anggap saja tulisan ini sebagai cara membangun diskursus. Namanya, usaha membangun pencerahan politik. Tentu saja, masyarakat yang sering disebut Masyarakat Sebelah Wae Musur, tak ingin diskursus. Mereka ingin pembangunan.

Akan tetapi, bagaimana mungkin pembangunan itu ada tanpa diskursus? Atas dasar itulah memperbincangkan politik itu penting. Tesisnya, politik menjadi “conditio sine quo non” sebuah kebijakan pembangunan. Dalam konteks lokal, Pilkada dan Pileg menjadi penentu pembangunan.

BACA JUGA:  Diperlukan Tindakan Kepolisian Kepada Pria Bertopeng (ADB) dan SG Seorang Wartawan Sebagai Kaki Tangan HK-Destroyer

Pembangunan itu urusan politik, bukan urusan birokrasi pun teknokrasi. Birokrat atau teknokrat hanya pelaksana urusan politik. Nyanyiannya hanya “kerja, kerja, kerja”. Semua itu diatur oleh irama politik. Singkatnya, arah angin politiklah yang akan menggotong semua kepingan kebijakan pembangunan untuk mengikutinya.

Politik bukan hanya berarti sekelumit cara untuk mencapai kekuasaan, tetapi juga cara mendistribusikan keadilan dalam takaran politis. Keadilan politik itu bukan sama rata-sama rasa, keadilan itu linear dengan sumbang suara yang diberikan dari sebuah pesta politik demokrasi. Keadilan seperti itu juga bisa bermakna distributif, artinya setiap kelompok masyarakat mendapat haknya secara proporsional.