GARUT, SOROTNTT.Com- Penyidik Polres Garut diduga telah melanggar kode etik dan adanya dugaan disparitas penanganan perkara terhadap dugaan penganiayaan sebagaimana diancam dan diatur Pasal 170 ayat (1) Kitab Undng-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam perkara nomor LP/B/54/XII/2023/SPKT/POLSEK CIKAJANG/POLRES GARUT/POLDA JAWA BARAT, tanggal 08 Desember 2023 tersebut telah ada dua produk hukum putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde), yaitu putusan nomor : 63/Pid.B/2024/PN Grt dan putusan nomor : 141/Pid.B/2024/PN Grt.
Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, menyatakan “Sikap dan perilaku pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat pada Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”, artinya seluruh anggota kepolisian wajib mentaati kode etik profesi. Selanjutnya dalam Pasal 6 huruf j, k, p, dan q Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Disiplin Anggota Kepolisian Negara Indonesia, dalam pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dilarang berpihak dalam perkara pidana yang sedang ditangani, memanipulasi perkara, melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan, menghalangi, atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi pihak yang dilayani, dan menyalahgunakan wewenang.
Dalam penanganan perkara diatas, oknum penyidik telah berpihak kepada seseorang, dimana orang yang disebut oleh saksi-saksi dan tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) serta nama it muncul pada fakta persidanan, penyidik tidak pernah mengundang, memanggil untuk meminta keterangan. Berati ini sangat jelas ada dugaan keberpihakan, bahkan lebih jauhnya adanya dugaan rekayasa kasus karena nama Megi Setiadi yang dengan jelas disebut dalam BAP tidak pernah dimintai keterangannya.
Kalau kita merujuk kepada Pasal 10 ayat (2) huruf c Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan “Setiap Pejabat Polri dalam Etika Kelembagaan, Larangan dalam penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, dapat berupa merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hokum”. Akibat perbuatan oknum penyidik polres Garut ini, diduga keras melanggar kode etik kepolisian dan dugaan adanya disparity of stencing (disparitas pidana) penegakan hukum pidana dalam penanganan perkara pidana yang bertugas di wilayah hukum Kepolisian Resort Garut – Polda Jawa Barat.
Adapun oknum penyidik yang kami adukan atau laporkan berjumlah 6 (enam) orang termasuk penyidik pembantu. Padahal kami sudah menyampaikan surat resmi agar ada pengembangan dalam kasus pengeroyokan sebagaimana diatur Pasal 170 ayat (1) itu, kan dengan tenaga bersama-sama, lalu kenapa atas nama Megi Setiadi yang jelas bersama-sama melakukan penganiayaan bahkan memvidiokan tidak pernah dimintai keterangan?, apakah oknum penyidik sudah dikasih angpau sehingga tidak berani memanggil Megi Setiadi?, tentu kami berharap itu tidak terjadi. Tapi kalau clear, mestinya penyidik berani memanggil dan memeriksa Megi Setiadi itu.
Jangan sampai kebiasaan ini menjadi terbiasa dan dibiarkan, karena akan merusak nama lembaga kepolisian, oknum penyidik tersebut harus diberikan sanksi tegas. Maka kami dari kantor hukum Asep Muhidin, S.H., M.H & Rekan telah menyampaikan laporan secara resmi lagsung kepada Divisi Profesi dan pengamanan (Div Propam) Mades Polri untuk memeriksa oknum penyidik yang kami laporkan serta memberikan sanksi tegas. Jangan sampai citra dan nama baik lembaga kepolisian rusak, terlebih dalam kasus pembunuhan vina dan eki di cirebon serta penetapan tersangka pegi setiawan, saat ini Polri sedang diuji integritasnya. Jangan sampai ini terjadi di lagi di Polres Garut.