Yuan Hadi Setiawan
Siswa Kelas XI SMAN 1 Satarmese-Manggarai- NTT
Tentang siapa kujumpa
Aku belum dapat memastikannya
Tentang siapa aku miliki
Engkau tak perlu mengutarakannya
Siapa yang memancarkan pagi
Dia belum sempat aku miliki
Rayuan-rayuan kini terasa basi
Menggenggam pasti dalam mimpi
Siapa dapat melawan sunyiku
Dialah orang yang aku tunggu
Membayar hamparan harapan tergulung rapi
Aku hanya tahu memiliki
Goresan-Goresan harapan terasa menyengat
Membawa sebait sajak rindu
Siapa orang kini tengah merayu
Lama baru dapat berikan sarat
Sejak Kau Datang
Mentari kini mulai merayu gelap
Untuk pergi bersama grobolan waktu
Kau datang membawa rindu
Mengisi sejagat harapan yang belum siap
Waktu kini disinari senyum petang
Pada setiap pameran di balik awan
Bulir-bulir cinta kini merayu embun
Mendapatkan dirimu yang baru datang
Jika Tuhan menizinkan diriku
Kan dibawa dirimu pada waktu
Kau datang dengan sebait puisi
Tanpa jeda yang berarti
Menjawab mimpi mulai bertunas
Kini setiap dawat bercucur dari pena
Lama baru datang dengannya
Datang memastikan apakah hatinya bergelora
Gadis Peminta-Minta
Terlihat gadis peminta sedang merayu
Memikat cerita tuk lepas cerita
Rasah hampa mulai di terjema
Ketika hati pasrah pada waktu
Bercucuran air keringat mebasa
Kulit yang tak terawat itu
Panas membara kemudain mebakar sela-sela
Harapanya tentang diri dan waktunya
Terlihat kurus, lugu, bodoh, dan seakan mati
Dalam hati kupikir
Nahaslah nasibmu sang gadis peminta hati
Orang tak pernah menyapamu
Hanyalah lampu merah yang selalu merayumu
Gadis peminta-minta tertidur beralaskan harapan
Tak seorang pun yang mampu menemanimu
Pagimu mungkin telah diisi oleh tangisan
Siangmu telah dihuni oleh hujatan
Malam masih berakbar dengan dingin
Kembalilah dalam hujatan sunyimu
Sesugguhnya sepeser rupiah kau harapakan itu
Akan datang di kala tanganmu mencari
Sebab tanganmu tak akan mungkin meraih rupiah
Dengan duduk, bersenyum dan bersandar di trotoar
Kubacakan Sebait Puisi Ibu
Tengah malam yang baru datang menanti dingin membakar tubuhku
Hasrat kembalai dalam pikirana
Akupun mulai memainkan penah tuk lukiskan aksara ibu
Malam semakin melarutkan dirinya
Namun aku sibuk melukiskan nama-nama
Ibu adalah nama yang sebut -sebut, baitku seakan mengagugkannya
Tak mampu tidak menyisipkan ibu dalam pikiran ini
Sembari melukiskan namanya, ingin kubacakan sebait puisi di depannya
Ketika pagi telah mengalah malam terlarut sempurna
Hati seakan tak mampu membaca bait-bait itu
Ibu telah hilang sebentar waktu tuk lunasi hutang-hutang
Di tetangga aku bertanya namun wajah-wajah mereka
melukiskan jawaban tidak!
Semua tinggalkan aku seorang diri
Kuajak pena untuk bercumbu,
Namun jawaban tidak! Dilontarkan lantas mulutnnya tak ada kabar
Hati kini dilukai oleh angin spoi-spoi tuk menghiasi pagiku
Sementara sebait puisi itu tak sempat aku baca
Aku sandarkan diriku di meja makan diisi oleh sisa makan
Malam tadi kubaca satu persatu bait itu
Ditonton piring-piring terlantar di atas meja makan itu
Air mata bercucuran bagaikan sungai mengalir deras
Tak sempat aku mengusapnya
Bait-bait puisi itu telah habis dibaca oleh seruan suaraku
Kini aku seorang diri ditinggalkan sanak saudara yang pergi
Menempui waktu mereka masing-masing
Ibu akan kembali membondong kebahagian tak ada tara
Di pojok bait-bait itu, kulukiskan kalimat asing yang tidak pernah
Aku bacakan tujuh belas tahun
“Aku merindukanmu ibu”