Oleh: Sil Joni
Sebuah kata, ketika ‘dipakai’ dalam konteks tertentu, terasa lebih bertenaga. Ketika kata dirangkai dalam kalimat, roh makna bersemayam dalam kata itu. Roh kata itu berpotensi ‘mengalirkan bisa (racun) kepada orang lain. Amukan roh makna dalam sebuah ‘kata’, jika tidak dikendalikan, maka bisa melukai bahkan ‘membunuh’ sesama secara mengenaskan. Ungkapan ‘kata lebih tajam dari pedang’, menemukan pembenarannya di sini.
Rezim otoriter dan represif biasanya ‘sangat takut’ dengan kata dari para juru-warta, penulis atau pengarang. Mengapa? Dalam dan melalui kata, kursi kekuasaan yang mereka ‘gauli’ selalu diganggu. Mereka tidak pernah merasa ‘nyaman’ menduduki kursi itu sebab ‘pisau kata’ terus mengiris dan mencincang daging ‘status quo’ yang dikultuskan sang penguasa.
Sebetulnya, ancaman yang ditebar lewat kata, tidak hanya terarah ke penguasa (politik), tetapi juga terarah ke semua manusia yang menjadikan ‘kata’ sebagai medium ekspresi komunikasi dan bereksistensi. Teknologi digital yang terjelma dalam berbagai platform media sosial, menjadi ‘lokus ideal’ mendiseminasi benih teror yang terdapat dalam ‘kata’ itu.