Temuan Manusia Katai di Flores Gegerkan Dunia Arkeologi

Mama Flo. Begitulah julukan populer yang merujuk Homo floresiensis. Dia adalah genus manusia (homo) purba yang sempat menjadi temuan menggemparkan dunia arkeologi pada awal abad 21 ini.

Managing Editor National Geographic Indonesia Mahandis Yoanata Thamrin menyebut temuan ini sebagai “cinta pertama kami” karena menjadi tajuk pertama kala versi bahasa Indonesia terbit pada 2005. Tanggapan itu diberikan dalam webinar penerbitan berbagai buku hasil penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Selasa (21/12/2021).

Temuan ini masuk daftar 100 keajaiban arkeologi di dunia yang ditulis oleh jurnalis sains Andrew Lawler yang dicuplik dalam majalah National Geographic Indonesia edisi November 2021. Dia menyebut Homo floresiensis sebagai “keluarga termungil” yang ditemukan di Liang Bua, Nusa Tenggara Timur.

Jatmiko, peneliti utama Puslit Arkenas membuka cerita bagaimana Homo floresiensis ditemukan untuk membuka tabir sejarah peradaban manusia, lewat buku Cerita dari Flores: Liang Bua, dari Manusia Purba hingga Manusia Modern.

Jatmiko, peneliti utama Puslit Arkenas membuka cerita bagaimana Homo floresiensis ditemukan untuk membuka tabir sejarah peradaban manusia, lewat buku Cerita dari Flores: Liang Bua, dari Manusia Purba hingga Manusia Modern.

Gua seperti Liang Bua sangat cocok untuk menjadi amatan para arkeolog. Sebab lokasinya yang subur di antara dua sungai yang mengapitnya, menunjukkan adanya fungsinya di masa lalu sebagai tempat tinggal manusia purba. Setelah ekskavasi bertahun-tahun dilakukan, para arkeolog pun menemukan fosil Homo floresiensis berjenis kelamin perempuan.

Liang Bua pertama kali dilaporkan sebagai situs oleh misionaris Belanda Verhoeven tahun 1965. Pada 1946-1949, dia mendapatkan kabar bahwa sebelumnya lokasi ini menjadi sekolah bagi anak-anak setempat hingga akhirnya mengajak pastor lainnya pada 1950

“Dalam kunjungannya ke Liang Bua, rombongan para pastor ini secara tidak sengaja menemukan bukti-bukti pecahan batu sabak dan grip (bekas peralatan anak sekolah), serta beberapa fragmen tembikar (kereweng) dan serpih-serpih batu yang berserakan di permukaan lantai gua,” tulis Jatmiko.

“Karena merasa penasaran dan tertarik dengan temuan-temuan tersebut, Pastor Verhoeven kemudian kembali lagi ke gua ini pada tahun 1965 dan melakukan uji coba penggalian (test-pit).”

Hasilnya, ditemukan tujuh individu kerangka manusia lengkap dengan benda-benda bekal kubur seperti periuk, kendi, beliung, batu, manik-manik, dan perlatan dari logam. Penelitian situs ini berlanjut dilakukan oleh Puslit Arkenas pada 1978 hingga 1989, lalu pada awal dekade 2000-an bersama lembaga internasional.

Awalnya banyak yang skeptis dengan temuan di Flores ini, antara kerangka ini dari manusia dewasa, anak-anak, atau monyet, karena ukurannya yang kecil. Jawaban itu terpecahkan oleh Rokus Due Awe, seorang peneliti senior.

“…itu adalah tengkorak dan tulang belulang manusia dewasa, saya yakin 100 persen,… bahkan 200 persen,” katanya dalam tulisan Jatmiko.

Akhirnya ditetapkanlah bahwa kerangka ini adalah jenis ‘spesies baru’ dalam perkembangan evolusi manusia sebagai Homo floresiensis, manusia dari flores.

Mama Flo yang ditemukan pada 2003 memiliki tinggi 106 sentimeter dengan volume otak sekitar 380 hingga 400 cc. Ukuran kecil ini membuat publik menjulukinya sebagai Hobbit dengan merujuk cerita fiksi karya J.R.R Tolkien Lord of The Rings, yang kebetulan triloginya tayang pada saat itu.

“Karakteristik atau ciri tengkorak Homo floresiensis sangat mirip dengan fosil tengkorak Homo erectus yang ditemukan di Dmanisi (Georgia, Asia Barat Laut) yang berumur sekitar 1,8 juta tahun yang lalu,” lanjutnya.

Bentuk pelipisnya memiliki kemiripan dengan menekuk ke dalam bagian belakang. Kecocokan pun ditemukan dengan fosil H. erectus awal, H. erectus dari Afrika, dan Pulau Jawa, dengan bagian rahang bawah.

Keunikannya, selain berukuran kecil, terlihat dari bentuk tulang paha yang lebih panjang dari lengan atas. Karakter ini memiliki persamaan dengan manusia tertua Lucy (Australopithecus afarensis) di Ethiopia dari 3,2 juta tahun silam. Artinya, walau mereka memiliki dua kaki untuk berjalan di atas tanah, tapi mereka sering menghabiskan waktunya dengan memanjat, urai Jatmiko.

Kalangan ilmuwan lain justru menganggap H. floresiensis sebenarnya manusia modern (Homo sapiens), seperti kita. Mereka mengalami kelainan fisik akibat patologi atau penyakit, sebagaimana yang diungkap Teuku Jacob, paleantropolog Universitas Gadjah Mada.

Bukan sembarang pendapat, hal itu didapati karena adanya tanda-tanda fisik seperti keausan gigi dan pengerdilan yang ditemui. Jacob dan tim juga berpendapat manusia katai ini bukan kelompok pemburu, tapi sudah hidup bercocok tanam dan memelihara binatang seperti manusia modern.

“Namun asumsi dari kelompok ahli ini tampaknya harus dikaji ulang dan direvisi, karena mereka memandang sosok Homo floresiensis dari aspek anatomi fisik dan berdasar pada komparasi etnologi tanpa melihat temuan konteks temuan tersebut dari kajian arkeolgis, geologis, geologis, maupun stratigrafis.”Jatmiko berpendapat.

Tapi yang jelas Mama Flo dan kawanannya di Liang Bua ini hidup pada 100.000 hingga 60.000 tahun yang lalu, atau kehidupannya berada pada akhir Zaman Pleistosen sebelum kedatangan manusia modern di Flores. Sebelum mereka menetap di Liang Bua, diyakini sebagai makhluk penjelajah, berpindah, berburu, meramu, dan mengumpul makanan.

“Dugaan bahwa Homo floresiensis adalah manusia modern yang pola hidupnya sudah menetap (bertempat tinggal), bertani dan mengenal peternakan (domestikasi) tampaknya tidak masuk akal karena tidak ada bukti-bukti yang mendukung, apalagi dikatikan dengan manusia yang masih hidup sekarang,” lanjutnya.

Berdasarkan analisis batu, Homo floresiensis punya kemiripan dengan gaya hidup manusia modern yang menempati Liang Bua setelahnya. Perbedaannya terletak pada pemilihan batu yang lebih digunakan mereka berasal dari tufa kersikan, sedang manusia modern menggunakan batu riang.

Kemudian secara penggunaan api, manusia katai ini lebih sedikit menciptakan api daripada manusia modern, berdasarkan jejak penggunaan api yang ditemukan.