Oleh: Marsel Koka
Senja itu seperti biasa. Mentari yang bersandar di ufuk barat perlahan tenggelam di peluk malam. Burung pipit yang sempat bersiul merdu mulai pulang ke peraduan masing-masing. Di halaman Gereja, sapaan hangat mengalir lepas dari setiap mereka yang datang memasuki Gereja. Lagu natal diputar sedikit kencang seolah menyapa dengan lembut mereka yang datang. Aku sendiri berdiri sambil memperhatikan mereka datang satu demi satu. Setelah lima menit berlalu mataku tertuju pada seorang pria berjalan di belakang kerumunan. Dia sendirian. Ketika tiga langkah di depanku ia tersenyum dan menyapaku. Manis dan lesung di pipinya terlihat amat kentara. Aku terpana oleh senyumnya. Eh sabar, kelebihannya bukan hanya itu. Merah bibir dan gelombang rambutnya, serta putih kulitnya semakin memkokoh ketampanannya. Sore itu, ia sosok yang paling mencuri perhatianku. Jujur, aku lansung terlena memandangnya.
Ah, aku harus berkenalan. Batinku. Tak menunggu lama. Kusodorkan tanganku dan perkenalan kami dimulai.
“Hai Kak, aku Dea”.
“Kaka? Oh saya Mario” katanya sambil tersenyum.
“Kaka, frater ya?” Lanjutku.
“Ah tidak kok, panggil saja Mario”. Jawabnya.
“Oke kak,” jawabku sambil menarik tanganku.