Sejarah Tanah Warisan yang Menjadi Sengketa
Tanah seluas 11 hektar yang kini menjadi pusat ritual tersebut, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan keluarga Ibrahim Hanta dan Siti Lanung sejak tahun 1973. Mereka mengolah tanah tersebut dengan kerja keras, bertani jagung, memelihara kambing, serta menanam kelapa, nangka, dan jambu mente. Semua itu dilakukan dengan penuh kasih dan keikhlasan semasa hidup mereka dalam pondok sederhana yang mereka bangun sendiri. Tanah ini diperoleh melalui proses hukum adat yang disebut “kapu manuk lele tuak” dari Hj. Ishaka, seorang fungsionaris ulayat Nggorang.
Pada tahun 1986 Ibrahim Hanta dan istrinya Siti Lanung meninggal dunia. Kemudian sejak saat itu, pengolahan lahan 11 ha ini dilanjutkan oleh anaknya, Nadi Ibrahim, dll keluarga turunan Ibrahim Hanta. Ketika mengurus SHM tanah tersebut ke BPN sejak tahun 2018, maka demi kebutuhan administrasi di BPN, dibuatlah Surat Keterangan Perolehan Hak Januari 2019 oleh Kuasa Penata Adat, Hj.Adam Djuje, yang menerangkan bahwa tanah ini sudah dimiliki alm. Ibrahim Hanta sejak tahun 1973.