Sebenarnya, kita lagi gelisah oleh alam asing di dalam diri sendiri. Kita pun lagi tak karuan hati dengan segala gerak-gerik sesama. Kita lagi ekstra waspada dalam alam lingkungan, dengan situasi dan kondisi yang kita tatap bulat-bulat dengan sorot mata tajam mengandung curiga: ‘semuanya pasti punya manuver dengan segala intrik yang membahayakan.’
Perang narasi dalam desingan peluru kata
Kata Bang Ebiet G Ade, “Di bumi yang berputar, pasti ada gejolak. Ikuti saja iramanya. Isi dengan rasa…” Proyek gigantik untuk sebuah rasa saling mengasingkan mesti dirubuhkan. Mesti dibiarkan mangkrak selamanya. Dan pada gilirannya citra kebangsaan yang berwibawa mesti dibangun pantang mundur dan penuh perjuangan.
Kita memang lagi ramai dengan desingan peluru-peluru kata bersuara. Tak peduli apakah kata-kata itu sungguh dikandung oleh rahim kebenaran, dan lalu lahirkan kepastian dan kesejukan, atau sebaliknya hanya ‘sekedar bersuara untuk merakit kebisingan?’
Kepatuhan pada tanda-tanda zaman?
Maka di sini, tentu tak sekedar ditangkap dan ‘diisi dengan rasa.’ Kemampuan membaca tanda-tanda zaman adalah kemutlakan. Sebab itu, ratifikasi dan optimalisasi isi dan cara berpikir integral dan menyeluruh (holistik), mesti tercerahkan dalam ‘keterbukaan ratio (akal budi) dan hati nurani yang sehat.’