Kita Bukan Lagi Orang Asing dan Pendatang

IMG 20221101 WA0106 1 jpg

Sebenarnya, kita lagi gelisah oleh alam asing di dalam diri sendiri. Kita pun lagi tak karuan hati dengan segala gerak-gerik sesama. Kita lagi ekstra waspada dalam alam lingkungan, dengan situasi dan kondisi yang kita tatap bulat-bulat dengan sorot mata tajam mengandung curiga: ‘semuanya pasti punya manuver dengan segala intrik yang membahayakan.’

BACA JUGA:  Perkara Tindak Pidana Pemilu Caleg dari Manggarai Timur Memasuki Tahapan Pembacaan Tuntutan

Perang narasi dalam desingan peluru kata

Kata Bang Ebiet G Ade, “Di bumi yang berputar, pasti ada gejolak. Ikuti saja iramanya. Isi dengan rasa…” Proyek gigantik untuk sebuah rasa saling mengasingkan mesti dirubuhkan. Mesti dibiarkan mangkrak selamanya. Dan pada gilirannya citra kebangsaan yang berwibawa  mesti dibangun pantang mundur dan penuh perjuangan.

BACA JUGA:  Tepati Janji, Gubernur NTT Aspalkan Jalan Menuju Kampung Uskup Ruteng

Kita memang lagi ramai dengan desingan peluru-peluru kata bersuara. Tak peduli apakah kata-kata itu sungguh dikandung oleh rahim kebenaran, dan lalu lahirkan kepastian dan kesejukan, atau sebaliknya hanya ‘sekedar bersuara untuk merakit kebisingan?’

Kepatuhan pada tanda-tanda zaman?

Maka di sini, tentu tak sekedar  ditangkap dan ‘diisi dengan rasa.’ Kemampuan membaca tanda-tanda zaman adalah kemutlakan. Sebab itu, ratifikasi dan optimalisasi isi dan cara berpikir integral dan menyeluruh (holistik), mesti tercerahkan dalam ‘keterbukaan ratio (akal budi) dan hati nurani yang sehat.’