Keenam, bahwa setelah pendekatan budaya, “kapu manuk lele tuak” si pemohon tanah dikabulkan Fungsionaris adat serta telah melihat obyek tanah yang ditunjuk penata maka sejak terjadinya “kapu manuk lele tuak” hingga melihat lokasi tanah maka sejak saat itu Fungsionaris adat tidak mempunyai hak lagi atas tanah tersebut. Si penerima tanah akan mengurus surat pelepasanya waktu sesuai kebutuhan berdasarkan petunjuk luas oleh penata.
Ketujuh, Potensi konflik, baik antara sesama masyarakat maupun antara masyarakat dengan pembeli (investor) ketika anak-anak/cucu mendiang ketua/wakil Fungsionaris adat Nggorang tidak mentaati apa yang sudah menjadi ketetapan dari mendiang fungsionaris adat nggorang, sperti ; Mengangkat diri sebagai ahli waris ketua/wakil Fungsionaris rangkap penata lalu melakukan hal dengan merubah nama-nama tempat/ lokasi lahan yang sudah ditetapkan warisan Fungsionaris adat Nggorang menjadi nama lain, seperti yang ada di Desa/Kelurahan Labuan Bajo ; Batu gosok, Tanjung Bunga Nanis, Kerangan, Torolema Batu Kalo, Wae Cicu, Wae Rana, Binongko, Toro Sintangga, Gusoh Ngea, Toroh Payau, Toro Bembe Boe Batu, Ke’e Batu, Kelumpang, Tanah Genang, Golo Binongko, Golo Silatey, Tondong Ras, dll.