Jika bantuan yang mengalir melalui jalur program resmi pemerintah masih belum menjamin terpenuhinya kebutuhan korban terdampak Covid-19, sudah saatnya bantuan personal sebagai wujud solidaritas mesti dialirkan. Dalam kalangan akar rumput sebagaimana ditegaskan oleh Azyumardi Azra, Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah dalam analisis bertajuk ‘Politik Tuna-Empati’, hal itu telah terealisasikan dengan baik (Kompas. 16/4/2020). Sayangnya, demikian Azra, situasi itu bertentangan dengan yang terjadi di kalangan para pejabat publik dan elite politik. Atas dasar itulah dua kalimat terakhir tulisannya bertuliskan demikian: “Simaklah hati nurani rakyat wahai para elite politik dan pemerintah. Cobalah tumbuhkan empati dan buang jauh-jauh politik tuna-empati sebelum keadaan memburuk.”
Dalam kutipan di atas, ada seruan imperatif-moral agar para elite politik dan pemerintah menaruh empati terhadap korban yang terhimpit bencana ekonomi dan menghindari politik tuna-empati. Tuna-empati adalah kurang berfungsinya sense of empahty. Jika empati adalah merasakan atau mengidentifikasikan diri dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain (bdk. KBBI, hlm. 369). Sebaliknya, tuna-empati merupakan keadaan di mana orang mengalami kekurangan atau bahkan ketiadaan rasa empati terhadap penderitaan sesamanya. Amat disayangkan bila dalam situasi genting dan tak berdayanya orang-orang yang menjadi korban pandemi Covid-19, pemerintah menutup pintu belas kasih terhadap mereka.