Menghidupi Politik Compassio

Dalam ulasannya, Azra menegaskan, sedikit sekali pejabat yang bersedia untuk menyumbangkan seluruh atau sebagian gajinya untuk meringankan beban warga terdampak (bdk. Ibid). Hal demikian merupakan representasi dari kurang berfungsinya rasa empati pejabat publik. Padahal, pemerintah dan elite politik adalah tumpuan harapan di saat tidak ada lagi pihak yang bersedia memberi bantuan dan di saat bantuan sesama akar rumput belum mencukupi. Dalam konteks di mana hantaman bencana ekonomi melanda rakyat kecil, saat para pengusaha dan para investor masih gencarnya mencari keuntungan meski dalam situasi genting, empati pejabat publiklah yang dibutuhkan. Bukan tuna-empati. Jika pemerintah menutup mata terhadap rintihan rakyat kecil yang tak berdaya, kepada siapa lagi mereka mengaduh? Sudah saatnya para pejabat publik dan elite politik menjauh dari penyakit politik tuna-empati.

BACA JUGA:  Masyarakat Bisa Lapor Saat Lihat Anggota Polri Mabuk dan Masuk Tempat Hiburan

Politik Compassio

Oleh karena itu, pejabat pemerintahan dan elite politik saat ini perlu membangun ‘compassio’ politik. Compassio lebih dari sekadar empati. Ia adalah kemampuan mengambil bagian dalam penderitaan sesama, terutama yang asing dan menderita (Madung, 2014:139). Mengambil bagian dalam penderitaan orang yang menderita mengandaikan adanya sebuah tindakan nyata dalam rupa memberi jalan keluar sekaligus memberikan bantuan riil bagi mereka. Compassio lebih dari sekedar merasakan penderitaan orang lain. Compassio melampaui ungkapan “Saya turut merasakan penderitaanmu”. Compassio berarti menyatakan “Saya siap membantu meringankan beban penderitaanmu” kemudian mengaktualisasikannya dalam tindakan nyata.