Sekitar sejauh duapuluhan meter dari rumahnya, saya intip dia, “oo.. dia lagi jalan mondar-mandir di teras rumahnya”. Mungkin dia gelisah ya, karena janji tidak tepat waktu. Atau dia maafkan saya karena kesalahan hujan penghalang turun dari langit. Atau mungkin dia pikir, “ae.. pria Jon Kadis pembohong .. !”. Begitu saya nongol depan gerbang rumahnya, tampak dia terkejut. Gembira. Meski jarak beberapa meter, saya merasa kena strom cinta. Terkesan dia juga begitu. Saya terantuk di gundukan tanah karena sudah tidak lihat ke bawah lagi. “Ae.. hati-hati Kaka”, sapanya. Oiii.. kata-kata itu serasa panah asmara yang telak kena di pucu lolo daku ( hati). Itu bikin saya bersemangat tingkat super saat melangkah gagah masuk sambil nenteng tas plastik berisi sabun Rinso 1 kilogram tadi dengan rasa percaya diri penuh, menunjukkan bahwa saya tidak mengingkari janji bawa rinso.
Lalu saya masuk, duduk di teras. Ngobrol bla bla bla. Lalu saya kasi Rinso dalam nota bene suratnya. “Ini yang ade tulis di nota bene itu ka. Maaf ya, hanya 1 kg. Sedangkan periuk, piring dan sendoknya, minggu depan akan saya bawa ya dek!”. Saat penyerahan itu jemari saya nakal tersentuh jari tangannya. Ia tersenyum gembira. Aiii.. saya mulai rasa seperti terangkat satu meter dari permukaan bumi. Lalu sambil senyum ia bawa Rinso itu ke dalam rumah, sampai di dapur kayaknya. Dari teras saya mendengar sekeluarganya, ayah, ibu dan saudaranya ramai ketawa dari ruang belakang. Ketawa meledak. Perasaan saya? Ae.. gembira sekali bro. Kenapa? Saya pastikan bahwa sekeluarga menerima saya to! Wong mereka sukacitalah ! Rinso 1 kg tidak sia-sia, pikir saya sambil bersiul tanpa suara, ibarat pecu angin kosong (pecu, bahasa Manggarai, kentut).