Bagi orang katolik di wilayah Manggarai, pada umumnya beranggapan bahwa ritus teing hang merupakan praktik religius tradisional yang urgen. Seperti yang telah dikatakan pada bagian sebelumnya, ritus teing hang merupakan pemberian makanan yang dilakukan oleh orang-orang yang masih hidup kepada para leluhur atau nenek moyang yang sudah meninggal. Orang-orang mati diyakini masih memerlukan makanan dan minuman dari orang-orang hidup, sedangkan orang-orang hidup dipercayai membutuhkan berkat dari para leluhur yang menjadi pengantar para dewa Dewi dengan orang-orang hidup (Alex Jebadu, 2018: 135-136).
Term persekutuan umat Allah merupakan term yang sangat populer dikalangan hidup umat beriman terlebih khusus dalam kehidupan umat beriman katolik. Term ini mau menunjukkan kesamaan seluruh umat/anggota di dalam gereja katolik. Namun konteks kita saat ini adalah konteks budaya, sehingga kita tidak bisa memahami term persekutuan umat Allah dari pandangan agama katolik saja, tetapi kita akan mencoba memahaminya dengan menggunakan sudut pandang sosial budaya. Dalam konteks kehidupan budaya terlebih khusus dalam ritus teing hang, persekutuan umat Allah dilihat dan dipahami sebagai seluruh atau semua orang yang ada di dalam suatu wilayah tertentu yang secara langsung mengikuti ritus teing hang. ungkapan ini dibenarkan karena dalam pandangan budaya persekutuan umat Allah tidak hanya mencakup satu agama tertentu saja tetapi persekutuan umat Allah itu bersifat universal yaitu terbuka untuk semua orang. Dengan perkataan lain dari manapun asalnya, apapun jenis keyakinannya dan apapun sebutannya untuk wujud tertinggi, dalam konteks budaya mereka semua adalah sama. Kesamaan inilah yang disebut dengan persekutuan umat Allah. Sebagai model persekutuan umat Allah, dalam ritus teing hang kita bisa menemukan sebuah relasi yang brsifat vertikal dan horizontal. Relasi vertikal yang maksudkan adalah relasi yang dibangun oleh manusia terhadap Allah. Sedangkan relasi horizontal adalah relasi antar sesama manusia, baik relasi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok dengan kelompok. Berbicara tentang relasi dalam sebuah persekutuan umat Allah tentunya kita juga berbicara tentang doa yang mereka daraskan dan yang mereka lantunkan. Hal itu kita jumpai juga di dalam ritus teing hang yakni adanya doa yang dipanjatkan kepada Tuhan melalui perantaraan para leluhur dengan menggunakan bahasa adat atau dalam bahasa manggarai doa adat ini disebut dengan Torok. Torok biasanya dibawakan atau didaraskan pada saat puncak dari acara teing hang dan biasanya doa adat (torok) itu dibawakan oleh orang yang ahli dalam bidangnya. Selain doa adat kita juga menemukan adanya doa spontan yang sesuai dengan kepercayaan masing-masing orang yang hadir seperti doa pada saat sebelum dan sesudah makan. Tindakkan ini sudah menjadi sebuah kebiasaan bagi setiap persekutuan umat Allah yang berkumpul atau yang hadir dalam acara teing hang.