“BPN Manggarai Barat seharusnya menunda segala perubahan status hingga ada keputusan final dari pengadilan,” tambah Indra.
Indra menegaskan bahwa tindakan BPN ini merupakan penyalahgunaan wewenang yang serius. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara harus diusut tuntas.
“Kami mencurigai adanya gratifikasi yang diterima oleh oknum pejabat BPN, mengingat perubahan status tanah ini dilakukan meskipun sudah ada permintaan pemblokiran,” ujar Indra.
Selain itu, perubahan status tanah yang masih dalam sengketa juga dapat dikategorikan sebagai pemalsuan dokumen, yang diatur dalam KUHP.
“Pengubahan SHM menjadi SHGB di tengah sengketa jelas melanggar hukum. Ini bisa dianggap sebagai penggelapan hak,” tegas Indra.
Selain itu, Pada tahun 1998 ternyata adanya pembatalan surat penyerahan tanah adat tanggal 21 Oktober tahun 1990 dan surat penyerahan tanah adat 10 Maret 1990.
“Informasi terbaru yang diperoleh dari pihak ahli waris alm. Ibrahim Hanta bahwa dasar penerbitan akta PPJB tersebut adalah pihak Niko Naput dan Erwin Kadiman Santosa membuat akta PPJB menggunakan 2 surat penyerahan tanah adat tanggal 21 Oktober 1991 dan penyerahan adat 10 Maret 1990 yang sudah sangat jelas statusnya telah dibatalkan pada 17 Januari 1998 oleh pihak ulayat,” tutup Indra