Misa malam kelahiran telah selesai usai dan malam sudah larut. Umat perlahan-lahan pergi meninggalkan Gereja. Di dalam Gereja hanya bayi Yesus yang terbaling di palungan, di temani para gembala dan gubuk reot di atasnya. Hanya beberapa umat yang sempat berdiri di depan kadang, berdiri dengan mulut komat kamit. Mungkin sedang berdoa. Namun yang lain atau lebih tepatnya beberapa anak muda berdiri sambil di bagian kanan dan kiri kandang natal sambil berselfi dengan gaya yang macam-macam. Setelah itu pergi. Aku berdiri setengah gelisah di depan Gereja. Berharap Mario datang mendekatiku, lalu melanjutkan kami percakapan. Ternyata tidak. Tidak dia sudah pergi sejak tadi. Batinku.
Dea, belum pulang? Sapaan lembut tiba-tiba mendarat di sampingku.
“Eh kakak. Ya kak sedikit lagi,” jawabku malu-malu.
“Ayo kita pulang”. Ajaknya.
“Oke kak”.
Kami berjalan pelan ditemani rembulan setengah lingkaran. Bola matanya menatapku dengan manja setiap kali dia bertanya tentang sesuatu. Keringat kecil dan wajahku memerah, namun tak kuhiraukan. Aku sudah berjanji bahwa malam itu aku hanya ingin menikmati setiap senyum yang keluar dari sudut bibirnya. Lesung pipi kanannya membuat ku tak banyak bertanya. Aku hanya menjadi pendengar setia, seperti Maria yang dengan setia duduk di kaki Tuhan. Malam itu, kami bercerita banyak hal. Mulai dari hal remeh-temeh sampai pada hal-hal serius seperti tentang cinta dan jodoh. Mario ternyata bukan hanya tampan tetapi dia seorang yang ramah lagi cerdas. Aku terkesima dengan kepandaiaanya. Dia seperti kamus berjalan yang mampu menjawab semua pertanyaanku. Kami berpisah setelah saudaranya datang menjemputnya.