Sepucuk Surat ” Suara Hati Kami” Mahasiswa Matim di Makassar

Makassar,SorotNTT.com-Dampak pandemi Covid-19 tak hanya dirasakan oleh para pekerja saja. Namun, kini sudah menjadi polemik sebagian besar mahasiswa yang berada di tanah perantauan, terlebih khusus bagi kami yang berada di kota yang sudah dikategorikan daerah zona merah.

Memilih pulang kampung atau menetap di tanah rantau, masih menjadi pertimbangan yang begitu berat ditentukan. Keterbatasan kebutuhan pokok sudah mulai dirasakan, apalagi banyak mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Sudah jelas kondisi yang dihadapkan ini sungguh memprihatinkan.

BACA JUGA:  Informasi Kasus Begal di Kota Ruteng itu Hoaks, Camat Langke Rembong Sesalkan Informasi Tersebut

Uang saku mulai menipis. Sebagian besar mahasiswa yang bekerja sambil kuliah kini sudah di-PHK dari tempat kerjanya. Tuntutan kuliah online yang hampir setiap saat membutuhkan pulsa data, tidak diimbangi oleh pemasukan memadai. Berharap orangtua petani di kampung mengirimkan uang dengan pendapatan tidak menentu, sangat tidak mungkin. Memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari saja belum cukup. Apalagi kebutuhan kami.

Butuh kesiapan mental mendengar ocehan pemilik kos di saat menagih pembayaran kamar kos di awal atau akhir bulan. Yang lebih miris mahasiswa harus mengatur kebutuhan makan yang tiga kali sehari terkadang menjadi dua kali, bahkan ada yang cuma satu kali sehari.
Mau pulang, tapi kami dibatasi dengan imbauan pemerintah, untuk sementara waktu jangan dulu pulang. Dan lagi kami dihantui dengan rasa takut terjangkit Corona atau siap dikucilkan dan penolakan di tanah sendiri jika pulang.
Tetapi dari semua itu ada satu alasan yang melekat dalam sanubari, bahwa sungguh kami tidak meninginkan virus ini berada di tanah kelahiran kami. Kami sangat mencintai keluarga dengan tetap berada di kos atau tidak pulang.
Mau meminta bantuan ke pemerintah setempat, tetapi tidak bisa karena mungkin mereka lebih memprioritaskan warga yang terdata sebagai penduduk tetap.
Lantas kepada siapa kami menyampaikan keluhan? Apakah kami boleh tetap berharap uluran tangan pemerintah?