Tanggal itu adalah tanggal ketika pilkada sedang melaksanakan waktu kampanye. Secara tidak langsung, apabila calon DPR dan DPD terpilih mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah, maka waktu pada hari ia dilantik sebagai anggota DPR/DPD, ia sedang berstatus sebagai calon kepala daerah yang sedang berkampanye. Artinya, di satu sisi ia adalah anggota DPR/DPD, di satu sisi ia adalah calon kepala daerah yang menurut Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada, tetap wajib mengundurkan diri.
Duduk di antara Dua Kursi
Seharusnya, MK memberi pemaknaan baru terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada dengan menambah frasa “caleg terpilih” demi kepastian hukum sebagai konsekuensi dari kebijakan pemilu serentak yang antara pileg dan pilkadanya terjadi pada tahun yang sama dan dalam waktu yang berdekatan dan bertabrakan.
Bagaimana mungkin akan ada seseorang yang akan dilantik sebagai legislatif tetapi di satu sisi ia adalah sebagai calon kepala daerah? Tentu itu akan berakibat pada pilkada yang tidak adil. Ketidakadilannya terletak pada status calon kepala daerah yang sedang dalam jabatan yang tentu saja tidak setara dengan calon lain. Sebab pertarungannya antara yang punya kuasa dengan yang tidak. Seperti perang antara ribuan pasukan membawa senjata lengkap dengan puluhan pasukan bertangan kosong.