Namun demikian, memang tidak semua perempuan Indonesia bernasib sama dengan beberapa perempua Indonesia bernasib sama dengan beberapa perempuan hebat di atas. Karena itulah R.A. Kartini (1879-1904) bergerilya untuk pendidikan perempuan di Surakarya, saat patriarki dan penjajahan menistakan gadis-gadis desa dan “emak-emak” Nusantara. Meski pada akhirnya dia tetap mengalami poligami. Namun upaya Kartini bersambut dengan lahirnya beberapa gerakan organisasi perempuan nasional.
Pada 1908 lahir Boedi Oetomo dengan organisasi sayap perempuannya yaitu Poetri Mahardika. Organisasi ini memberikan ruang pada perempuan untuk turut andil dalam berorganisasi dan urusan publik. Dilanjut oleh organisasi keagamaan Muhammadiyah 1917 di Yogyakarta dengan Aisyiahnya. Tahun 1928 lahir Persatuan Perempuan Indonesia (PPI) yang menuntut haknya dalam pendidikan dan menyuarakan reformasi perkawinan. Pada masa pendudukan Jepang 1942 didirikan organisasi perempuan bernama Fujinkai yang diikuti oleh para istri kaum pegawai, salah satu misinya adalah memberantas buta hurus di kalangan perempuan.