Politisi memang senang membuat jargon. Tujuannya, menggugah the silent majority; menjamah yang tak tersentuh pembangunan. Sayangnya, masyarakat justru sedang diam-diam ikut giat membangun dan terlanjur menikmati kemajuan. Yang berteriak adalah mereka yang “meminta lebih” dari apa yang mereka tanam. Karena tak dapat apa yang diminta, loyalitas politik pun berpindah. Pilkada jadi taruhannya.
Memang, Pilkada itu sirkulasi kekuasaan. Dasarnya, demokrasi: dari, oleh dan untuk rakyat! “Dari rakyat” berarti tidak ada klaim suku, rasa dan raja; “oleh rakyat” berarti bukan oleh money politics; “untuk rakyat” berarti bukan untuk oligarki atau kelompok monopoli.
Jadi, konotasi sirkulasi kekuasaan itu tidak semata pergantian elite penguasa, tetapi juga bermakna “sirkulasi” pilihan rakyat. Semacam ada saling-silang pikiran dan emosi individu untuk menentukan pemimpinnya. Pilihan rakyat menjadi neraca kekuasaan yang adil. Politisi tidak bisa memaksakan nafsu kekuasaannya tanpa amanat rakyat.
Kalau perubahan dalam konteks Pilkada disempitkan (peyorasi) menjadi pergantiaan kekuasaan, itu urusanya dengan pilihan rakyat. Itu bukan urusan nafsu politisi.