Menyelesaikan Konflik Hak Ulayat dan Tanah Ulayat di NTT

Petrus Selestinus - Opini Tanah Ulayat

Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah mempertegas posisi negara (Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama DPR RI dan DPRD) sebagai sebuah kewajiban konstitusional untuk menyelesaikan persoalan konflik Tanah Ulayat dan Hak Ulayat di mana pun, tidak terkecuali di NTT termasuk di seluruh Flores, Alor dan Lembata yang persoalannya sudah terkatung-katung bahkan dibiarkan berlangsung bertahun-tahun tanpa ada tanggung jawab sedikit pun untuk diselesaikan melalui jalur Hukum Adat sebagai bagian dari wujud tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, DPR RI dan DPRD. Tanggung jawab konstitusionalitasnya adalah memenuhi amanat pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa : “negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih ada sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

BACA JUGA:  KPK dan BPK Perlu Kordinasi Untuk Ungkap dan Bongkar Pelaku Jebol Dana BPBD SIKKA

Hak Ulayat dan Tanah Ulayat selalu melekat hak-hak tradisional yang bersifat komunal oleh sekelompok masyarakat adat dalam suatu wilayah dengan batas-batas tertentu dan dengan segala hak tradisionalnya serta diakui oleh masyarakat adat setempat. Karena itu Pemerintah dan Pemerintah Daerah bersama DPR RI, DPD RI dan DPRD harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan seluruh konflik Tanah Ulayat dan Hak Ulayat di seluruh NTT khususnya di wilayah Flores, Lembata dan Alor yang selama ini dibiarkan seakan-akan konflik Hak Ulayat dan Tanah Ulayat itu semata-mata persoalan perdata yang hanya menjadi tanggung jawab para pihak yang bersengketa. Ini adalah pandangan yang keliru, karena Hak Ulayat dan Tanah Ulayat termasuk dalam kriteria kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang di atasnya melekat hak-hak tradisional yang diwarisi secara turun temurun dan yang penguasaannya secara komunal berdasarkan hukum adat setempat serta diakui oleh negara.