“Adik, kalau sudah menjadi seorang imam, adik harus bisa mengambil hati umat,” mengingat nasehat temanku. Wah… ini benar-benar memelekkan mataku. Suasana kantuk yang kian meringgas itu pun hilang dalam sekejap. Ya, ini benar-benar membangunkan aku dari ketiduran rasa. Kalian pasti bertanya: mengapa? Tentu saja akan selalu bertanya, bukan?
Aku baru saja menang. Ya aku menang di saat mendiktekan tentang pilihan hidup dan panggilan sebagai seorang biarawan dan telah berhasil meyakinkan “si dia”, yang menyapaku “sang pencuri hati”. Kok, aku malah ditantang untuk bisa mengambil hati umat. Ini benar-benar membingungkan, bukan? Ya, tentu saja membingungkan.
Lantas, apa yang mesti aku lakukan? Akankah aku hidup dalam situasi ini terus-menerus? Bagaimana mungkin aku dapat tampil sebagai seorang yang “mampu mengambil hati umat” dan pada saat yang sama tidak menjadi “sang pencuri hati, si dia?”
Terlintas dalam benakku, moment indah, di mana aku hadir di sana. Ya, sekali lagi tak berniat membawanya dalam kisah. Aku benar-benar tidak bermaksud membawa dia ke sini untuk menyelesaikannya. Aku hanya ingin membaringkan ragaku. Aku, tentu saja ingin itu. Namun, kata-kata inspiratif itu terus saja menghantuiku. Aku sempat berpikir bahwa inilah jawabannya untuk membungkam “si dia”. Tentu inilah jawabannya. Wejangan inspiratif itu datang akibat kenakalan memoriku yang sempat merekam khotbah dari seorang imam muda dalam sebuah misa perdana, ketika ia hendak menasehati adik selibatnya untuk hidup sebagai seorang imam.