Memburu Katak

Kebiasaan orang-orang kampung saat musim bajak sawah adalah memburu katak, jika malam turun. Itu adalah daging gratis pemberian Tuhan menurut mereka. Begitulah kegiatan tiga sahabat itu setiap malam, sejak awal November ini sampai hari ini, memburu katak di sawah-sawah yang sudah dibajak.

“Bagaimana?”
“Sudah, Li. Aku sudah siapkan senternya,” jawab Virgo.

Virgo menoleh ke arah Dalang yang dari tadi hanya diam. Sepertinya ia tahu harus menjawab apa terhadap tatapan itu.

“Sudah survei, Bos. Aman. Di sana, sawah Pak Kades,” jawabnya santai.
“Baiklah, kita berangkat jam 7 malam. Kita bertemu di ujung kampung,” kata Virgo.

Virgo sudah menunggu setengah jam. Belum satu pun sahabatnya muncul. Ada kejengkelan dalam dirinya. Namun, ia tahan. Ia tetap mencoba menjadi sahabat yang setia menunggu, meskipun pekerjaan menunggu itu sangat melelahkan.

“Maaf, Go,” kata Dalang terengah-engah.
“Ah, dasar! Sukanya molor,” gerutu Virgo.
“Mana Ali?” tanya Virgo.
Dalang mengangkat bahu, tanda tak tahu.
“Ayo, berdua saja,” desak Dalang.
“Tunggu sebentar lagi,” jawab Virgo menahan kesalnya.

Samar-samar, dalam redup lampu jalan, Ali tergopoh-gopoh menuju mereka. Wajahnya nampak tidak baik-baik saja.

“Aku punya firasat buruk, bagaimana kalau kita batalkan saja memburunya,” kata Ali.
“Firasat buruk? Apa kamu masih percaya hal begitu?” tanya Virgo.
“Begini, Ayah melarangku berburu di sana. Kata Ayah, di situ banyak penunggunya,” jawab Ali ketakutan.
“Hanya mitos, Li,” kata Dalang.
Virgo diam sesaat.
“Bagaimana?” tanyanya.

BACA JUGA:  Aku, Anak Darat Dibangkitkan Tuhan Rian Tap

Mereka terdiam. Satu-satunya jawaban adalah tergantung, Virgo.
“Ayo!” ajak Virgo.

Ali selalu menoleh ke belakang, ada yang tidak beres. Semacam ada yang mengikutinya. Ia mulai memikirkan perkataan ayahnya. Sesampainya di persawahan itu, mereka mulai mengendap di pematang-pematang yang berjejeran. Biasanya katak akan berada di pematang jika malam tiba.

“Ya, bagaimana kita mendapat buruan, kalau kita jalannya bersamaan,” kata Virgo tanpa menoleh.
“He, kamu bicara dengan siapa?” tanya Dalang dari pematang seberang.
“Ha? Bukannya Ali bersamaku,” kata Virgo.
“Ia denganku,” jawab Dalang.
“Lang, Lang, lihat!” seru Ali.
“Apa?”
“Itu?”
“Ap sih?”

Ali mulai berkeringat. Dalang hampir saja terjatuh ke petak sawah. Ada sosok yang mengikuti Virgo di pematang seberang.

Virgo, …,” teriak Dalang.

Mereka terus mencari keberadaan Virgo. Mereka berteriak. Dalam sekejap mata, Virgo menghilang begitu saja. Ali mulai keringat lagi. Tubuhnya gemetar.

“Jangan-jangan, …,” Ali tak mampu meneruskan perkataannya.
“Ini malam Jumat, Lang, sudah jam 12.00 malam juga,” bisik Ali.
“Kita pulang, Lang,” desak Ali.
“Bagaimana Virgo?” tanya Dalang yang juga mulai berkeringat.

BACA JUGA:  Kata Srikandi Itu "Aku Ingin Pulang Kampung"

Mereka terus mencari keberadaan Virgo. Mereka berteriak. Dalam sekejap mata, Virgo menghilang begitu saja. Ali mulai keringat lagi. Tubuhnya gemetar.

“Bagaimana bisa?” tanya Pak Joko.
Ali mulai bercerita. Warga mulai berdatangan. Mereka mulai berspekulasi.
“Ayah sudah larang kan?” kata Pak Jean kepada anaknya, Ali.
“Sudah, sudah, panggil Mbah Jum,” kata yang lain.

Obor-obor menyala sepanjang jalan. Ada juga yang membawa senter. Ali dan Dalang berjalan di tengah kerumunan warga kampung. Mereka mulai berteriak memanggil. Mereka mulai menyusuri sawah sampai sungai di pinggiran sawah. Sudah subuh, belum ada kemajuan pencarian itu. Pak Jon, ayah Virgo semakin panik.

“Kita pulang saja. Lanjutkan pencariannya besok,” kata yang lain.

Kalimat itu menumbuhkan amarah besar Pak Jon. Ia memberontak hendak memukul Pak Rino.
“Cobalah berpikir itu anakmu,” kata Pak Jon.
Semuanya hening. Mbah Jum maju ke tengah kerumunan. Warga lain mulai mendekat.

“Jangan pulang! Ia ada di sekitar sini. Tabuhlah gendang dan gong yang kalian bawa. Yang lain ikut aku,” katanya.

Mbah Jum mulai membaca mantra. Mulutnya komat-kamit. Entah apa yang dikatakannya. Warga lain menabuh gendang dan gong, di bawah pohon beringin besar di dekat sungai.

BACA JUGA:  Infrastruktur Jalan Dalam Kota Labuan Bajo Dinilai Amburadul, Marsel Jeramun Angkat Bicara

“Bek,…,”terdengar suara jatuh.
“Tolong … ,” terdengar suara rintihan di balik pohon.

Beberapa warga segera menuju sumber suara. Astaga, Virgo mengerang kesakitan. Mereka membopongnya. Wajahnya sangat lesu. Tatapan matanya tajam. Segera Mbah Jum membaca mantra lagi.
Bawa dia pulang,” perintah Mbah Jum.

Warga mulai berspekulasi tentang kejadian yang baru saja terjadi.
“Benar kan?” tanya yang lain.
“Itulah. Masih ada yang tidak percaya bahwa pohon itu ada penunggunya?” tanya yang lain.

Benar atau hanya kebetulan itulah yang terjadi. Kebenaran atau pemikiran lainnya hanya dijawab oleh diri sendiri.
  “Biarkan dia beristirahat sejenak,” pintah Mbah Jum.
Virgo berangsur-angsur membaik. Hanya saja, tubuhnya terasa lemes.
“Apa yang terjadi?” tanyanya.

Ali mulai bercerita, dilanjutkan oleh Dalang dan Pak Jon. Virgo hanya diam. Ia menatap ayahnya, seolah meminta maaf, sebab sebelum ia pergi, ia berbohong bahwa mereka tidak pergi berburu katak, melainkan mengerjakan tugas di rumah Ali.

Penulis : M. Hamse Cen Rian, S.Pd