Oleh: Sobe Rengka Melkior, S.Fil
SALAH satu disiplin pokok dari filsafat adalah etika. Etika merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia dan hidup secara manusiawi.
Setiap pribadi manusia mampu berpikir, dalam bahasa Latin diterjemahkan ‘res cogitans’. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa semua filsuf sejak dua ribu empat ratus tahun yang lalu mulai dari Plato yang dikenal sebagai raja para filsuf dan tokoh besar filsafat Yunani kuno, sampai pada hadirnya Friedrich Nietzsche sang penghancur etika tradisional, yang selalu disebut sebagai nabi nihilisme. Mereka semua bertanya bagaimana manusia harus membawa diri agar ia mencapai potensialitasnya yang tertinggi dan bagaimana agar kehidupan itu betul-betul bermutu?
Pada dasarnya, pertanyaan ini memiliki jawaban yang bervariasi dan menunjukkan bahwa pertanyaan tentang manusia berawal dari manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Manusia sebagai pusat pertanyaan juga memiliki pertanyaan yang mendasar tentang ‘siapakah manusia itu?’. Pertanyaan ini menggugat eksistensi manusia. Karena itu, manusia tidak pernah berhenti pada pertanyaan tetapi terus-menerus bertanya dan mencari jawaban dalam pertanyaan-pertanyaan itu sampai singgasana kehidupannya. Di sini, pertanyaan tentang siapakah manusia bersifat kontinuitas.