Dr. Nicholay Aprilindo, (Penulis adalah Advokat dan Aktivis POLHUKAM)
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU-Pres) selalu saja berujung pada Mahkamah Konstitusi. Terjadinya hal tersebut tidak lepas dari penolakan terhadap keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pada prinsipnya penolakan tersebut dapat dibenarkan sepanjang didalilkan lain tentang perolehan suara yang telah ditetapkan KPU. Dalil tersebut harus didasarkan pada berbagai alat bukti yang sah, relevan dan berkorespondensi. Tanpa adanya alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan, maka dalil-dalil yang disampaikan hanyalah “kumpulan narasi” belaka.
Demikian itu tidak akan dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian berbagai alat bukti yang disampaikan juga harus sejalan dengan tata cara, prosedur dan mekanisme penyelesaian perkara. Salah satunya menyangkut tentang kompetensi absolut penanganan perkara. Penyelesaian perkara Pilpres telah ditentukan klasterisasi penyelesaiannya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).