Nara, sangatlah humble. Kepada siapa pun bibirnya akan selalu tersenyum dengan sangat manis.
Pria seperti Nara jarang kutemukan… bila dia bukan sepupuku sudah lama aku ingin dia menjadi teman hidupku.
Bayangan wajah Nara melekat erat mengunci otakku dengan hebat seolah tak ingin pergi dan menjauh. Bayangan itu. “Arggghhh…!” batinku.
****
Dan hari ini pun tiba hari ke-15 bulan Januari
Seperti biasa setiap pagi aku selalu duduk di balai bambu di samping rumah menikmati segelas “kopi pa’it” dan sinar mentari pagi. Dengan wajah bingung kakak menghampiri diriku. “Cha…! dia membuka percakapan.. “Hmmmm… kenapa, Kak?” sembari menaikkan alis mata aku menjawabnya. “Cha…!!!” Dia memanggil lagi dengan nada suara yang sedikit mendesah. “Iyaaa… Kakakku sayang!” jawabku. “Cha… Nara?” Katanya lagi, “Nara…” “Iya, Nara kenapa?” jawabku sedikit gusar. “Nara meninggal!” jawabnya menimpali pertanyaanku.
Mendengar kabar itu tak lantas aku mempercayainya begitu saja. Sembari meletakkan kembali gelas kopi yang hendak kuminum. Aku berbalik dan menatap mata kakak dengan seribu pertanyaan yang menggantung di ujung bibirku. “Kak… Apa aku tidak salah dengar?” tanyaku lagi. “Cha… masa iya aku bergurau untuk hal seserius ini. Tidak mungkin, Cha! Selama ini Nara sakit. Dan dirawat di sebuah rumah sakit di Jakarta. Menurut hasil pemeriksaan dokter yang merawatnya, Nara mengidap penyakit leukimia. Semenjak Nara sakit dan pada akhirnya Nara meninggal Wela dengan setia selalu di sampingnya.” Kaka bercerita sembari menunjukkan foto terakhir Nara. Kondisinya memprihatinkan. “Gajah…?” desahku lirih.