
Beberapa hari terakhir, sebuah info resmi pencarian guru Biologi (open recruitment) Sekolah SMAN 2 Borong, mendadak viral. Di Medsos, banyak pihak membicarakanya. Beberapa media online juga membahasnya. Sebuah realitas pendidikan, tetapi baru muncul ke permukaan.
Info itu menjadi viral karena ada kriteria calon guru Biologi yang dinggap tidak lazim oleh para netizen. Disebutkan beberapa kriteria: Sarjana Biologi plus Sertifikat Pendidik, alumnus/alumna kampus terakreditasi A, IPK minimal 3,75, punya bakat di bidang seni dan beladiri Kempo dan menguasai IT. Dengan kriteria itu, ada netizen yang menganggapnya sebagai “romusha”: guru sebagai pekerja paksa; ada yang menganggapnya sebagai sebuah kriteria yang berlebihan; ada juga yang menganggapnya sebagai sebuah lelucon di awal masuk sekolah.
Tetapi tak sedikit pula yang melihat bahwa kriteria tersebut sebagai “kriteria plus” untuk menjadi seorang guru. Bahwa kompetensi guru zaman now sepatutnya sepadan dengan kebutuhan murid kids zaman now. Begitulah kira-kira gonjang-ganjing perbicangan di medos.
Boleh jadi, perbincangan seperti itu muncul dari kita yang “old school”. Kita dibesarkan dengan kurikulum sekolah yang sangat jauh berbeda dengan kurikulum saat ini: Merdeka Belajar. Kalau dulu, guru mata pelajaran (Mapel) hanya bertanggung jawab terhadap materi text-book yang diajarkan kepada murid. Bakat anak (:seni, olahraga, bela diri) adalah urusan murid dan orang tuanya. Yang penting murid dapat nilai bagus, dia disebut anak pintar. Itu saja!
Sementara, kalau kita membongkar-bangkir isi Kurikulum Merdeka, disebutkan banyak irisan urusan yang dituntut pada seorang guru. Selain kompetensi Mapel, guru dituntut kompetensi ini-itu. Di sekolah, keunggulan literasi, numerasi, pendidikan karakter dan Profil Pancasila, mesti menjadi proyek bersama para guru. Itu baru soal target outcome sekolah. Belum lagi ada soal metode pembelajaran berdiferesiasi dan inisasi Guru Penggerak.
Dalam hal pembelajaran berdiferensiasi dan Guru Penggerak, guru diharuskan untuk selalu peka dan kreatif dalam berhadapan dengan bakat dan minat para murid. Satu topik pembelajaran bisa saja diajarkan dengan berbagai cara dan gaya seorang guru. Kalau seorang guru itu inovatif dan kreatif, ia dapat mengajar sejarah, misalkan, dengan metode bernyanyi. Itu dilakukan agar terjadi joyfull learning dan murid lebih mudah mengingat materi. Atau seorang guru matematika kreatif mengajarkan numerasi dengan praktik membuat kursi dan meja dari botol plastik bekas (re-use).
Nah, guru yang hebat adalah guru yang bisa membekaskan pengetahuan dalam pikiran dan ingatan murid. Guru seperti itu biasanya terdapat pada guru yang kreatif di kelas/di luar kelas. Kalau ia seorang guru penggerak, maka ia dihadapkan pada tuntutan untuk “tergerak dan menggerakkan” civitas sekolah untuk lebih unggul dan maju.
Atas dasar spirit civitas sekolah yang unggul dan maju itulah kita dapat memahami pretext dari sebuah info pencarian guru Biologi di SMAN 2 Borong. Bahwa untuk menjadi guru yang “tergerak dan menggerakkan”, guru mesti punya bakat plus (:hobi), selain sebagai guru Mapel. Kata orang, bakat/hobi seringkali mengalahkan/menomorduakan pekerjaan.
Mari kita bayangkan seorang guru Mapel Biologi punya bakat/hobi di bidang IT. Pembelajaran di ruang kelas mungkin akan lebih semarak dan menarik. Ada skema audio-visual yang ditampilkan kepada murid. Atau bisa jadi materi ujian sekolah dikumpulkan dalam bentuk video dan vlog. Jawaban ujian dibuat dalam tampilan audio-visual dan penjelasan yang jelas dan menarik di vlog.
Kalau pun seorang guru Biologi berbakat dalam olahraga prestasi beladiri, maka dengan pengetahuannya ia dapat dengan sigap menghadapi situasi darurat atlet yang mengalami cedera pada jaringan lunak, luka terbuka atau tertutup. Atau atas dasar pengalaman olahraga beladiri, guru Biologi dapat menjelaskan materi-materi anatoni, gerak tubuh, otot peristaltik, dll, secara lebih menarik kepada para murid.
Tentu saja, ada banyak kemungkinan dan kejutan kreativas guru dalam pembelajaran apabila ia berbakat dalam olahraga, seni dan IT. Dengan bakat itu, guru tidak akan apatis dalam kegiatan-kegiatan sekolah. Ia akan selalu tergerak (semacam vocatio) untuk menyalurkan/membagikan bakat dan pengalamannya kepada para murid atau bahkan kepada sesama guru.
Itulah sebuah parallax muncul dari secarik info guru Biologi SMAN 2 Borong. Sekolah itu hendak memberi tahu bahwa pola pendidikan sekarang sudah berubah. Pengetahuan dan karakter sangat penting bagi generasi muda. Cerdas tak selamanya pintar bidang Eksata (numerasi). Sekolah tak mau mendidikan anak untuk menjadi robot yang tak punya emosi dan air mata.
Karena itu, Kepala Sekolah SMAN 2 Borong, Siprianus Nahur, S.Pd, tak mau malu-malu untuk mengekspos kriteria akademik “plus” seorang calon guru Biologi. Kriteria itulah yang dibutuhkan sekolah dan model pendidikan zaman now. Karakter sekolah terletak pada kejujurannya dalam membuka informasi itu.
Publik mestinya mengapresiasi atas kejujuran itu. Kita pun mesti mengakui bahwa realitas pendidikan sudah berjalan jauh lebih progresif dan realistik. Bukankah orang tua pun akan bangga apabila selain cerdas numerasi/literasi, anaknya mendapatkan juara dalam lomba tarik suara? Apakah orang tua tidak berbangga apabila anaknya menjadi atlet kempo nasional? Semua itu dimulai dari guru dan bakat guru yang mendidik dan menuntun bakat-bakat anak muridnya di sekolah.
Kita punya “school of hard knocks” dari Pandemi Covid-19. Kita belajar dari pengalaman pahit itu. Ada anak tak bisa berbuat apa-apa saat pandemi. Orang tua tak bisa berbuat apa-apa tanpa guru. Terjadi learning loss. Anak-anak akan tersinggung kalau disebut sebagai Angkatan Pandemi Covid-19. Hal itu tak boleh terulang lagi pada pendidikan kita (noch nicht einmal).
Dunia pendidikan sedang bangkit. Kurikulum Merdeka meminta kualifikasi “plus” pada guru. Hal itu baik adanya demi generasi yang unggul. Mari kita dukung. Seperti info guru Biologi SMAN 2 Borong, kita tak perlu heran apabila tahu bapak Kepsek SMAN 3 Borong, Konstantinus E. Rada, terampil membuat kue tar gulung dan kripik pepaya. Itulah bakat plus dari seorang Sarjana Psikologi. Keren, bukan? Salam.
Alfred Tuname
Esais