Aku seorang mahasiswa yang sedang berjuang mengejar toga. Aku tampan, tinggi, putih, dan aku normal. Iya aku normal, namun aku pernah bisu selama tiga hari berturut-turut. Penyakit bisuku aneh, hanya muncul saat senja. Aku pernah berniat memeriksa ke dokter. Namun kuurungkan niatku karena aku tidak mau disangka gila. Aku membayangkan dengan ekspresi bingung “Dok, aku seorang yang bisu…”. Aku berani bertaruh pasti dokter langsung memotong pembicaraanku “Maaf, seharusnya Anda pergi ke dokter ahli kejiwaan.” Pernah aku berbisik kepada sobatku, “Bro, aneh bro. Setiap senja aku mendadak bisu.” “Sabar bro, semoga skripsimu cepat kelar. Santai… Jangan stress.” Ah… Tidak ada yang membantu. Sumpah! Aku masih waras, aku juga tidak stress, juga bukan karena pembimbing killer, atau tentang coretan-coretan tinta menyebalkan. Setelah berpikir dalam kesendirian, menganalisis dan memeriksa batinku aku pun berargumen “aku bisu karena senja” .
Aku mengesampingkan skripsi dan togaku karena suatu senja. Senja? Iya senja, kisah senja di kampusku. Empat hari aku setia menunggu dan mencari senja. Jika senja datang menggoda, maka aku akan tetap menjadi penikmat yang kehilangan indra pengecap. Empat hari sejenak aku lupa, lupa bahwa aku seorang pejuang toga. Yang aku ingat hanyalah aku si bisu yang datang menanti senja.