“Jika engkau benar menepati janjimu untuk menjadi imam dan ayah dari anak-anakku, aku tunggu kamu di luar.” Sepotong kalimat yang masuk dalam WhatsAppnya Anji. Hari demi hari Anji terus bergulat dengan kalimat ini. Ruangan kamarnya seakan dipenuhi wajah Veve. Doa tidak cukup untuk menenangkan pikirannya. Ini memang perjuangan berat, bahkan lebih berat rindu.
Tibalah saatnya, Anji memutuskan pilihan itu. Dia harus memilih di antara pilihan yang dua-duanya sudah dijalani.
“Anji, apakah engkau siap dan sanggup untuk menjadi pelayan Tuhan dengan syarat-syaratnya?” Pertanyaan itu menghantam pikiran Anji. Lama ia menunduk. Bayangan Veve menyelimuti pikirannya. Aku sangat mencintainya, Tuhan. Apakah aku salah jika aku melayani-Mu dengan cara yang berbeda dan syarat-syarat yang beda pula. ”Anji, apakah engkau mendengarkan aku?”. Kembali suara rektor membuyarkan lamuan Anji. “I….aa…a, rektor aku mendengarkanmu.” jawab Anji terbata-bata. “Anji, apakah engkau siap dan sanggup menjadi pelayan Tuhan dengan syarat-syaratnya?” Kembali rektor mengulangi pertanyaannya. “Ma..a…a..fkan aku, saya belum siap”. Pandangannya gelap. Semuanya menjadi kabur. Waktu 8 tahun di seminari hanya putuskan 5 menit. Kenangan-kenangan selama 8 tahun tentu akan berbeda ketika dia memilih jalan yang lain. Selama satu minggu, Anji membereskan barang-barangnya dan siap berpindah tempat. Aku harus memberikan suprixe kepada Veve, dengan tidak mengabarinya. Bayangan Veve sedikitnya mengobati rindunya kepada teman-temannya. Dan dia bertekad akan mengunjungi kekasihannya di tanah Jawa.