* * *
Senja terakhir,
Dua pasang mata indah menatap kosong ke arah yang lain. Kali ini wajah yang sama, di depan aula kampus di bawah rimbunnya pohon pucuk merah. Gadis kemarin, pipinya bersemu merah saat tanpa sengaja mata kami beradu pandang. Pertama kalinya, dia menatapku. Senja ke empat, aku mulai logikaku mulai berbicara tentang kesempatan. Oke! Kali ini aku berjuang melawan bisuku. Siapapun bisa sembuh dari penyakit akut jika memiliki semangat juang. Aku segera mencari pil keberanian, cepat-cepat menelannya. Pilnya menyisakan sedikit pahit di kerongkongan. Aku mengabaikan pahitnya. Aku melangkah mendekatinya dan memberanikan bibirku untuk menyapanya. Berhasil! Aku sembuh. Aku mulai berbicara “Hai… “. Dia tidak menjawab, hanya membalasku dengan senyum manisnya
“Bolehkah kita berkenalan?” aku berkata demikian sambil mengulurkan tanganku. Namun tangannya enggan menyambut tanganku. Dia menatapku lama. Matanya hampir menelanjangiku. Tuhan, tatapan itu… aku butuh satu pil keberanian lagi. Aku takut penyakitku kambuh karena mata indah itu. Aku akhirnya bernapas lega saat dia menggerakkan bibir merahnya itu “aku bingung dan sedang merasa kehilangan.” Entah apa yang dibicarakannya, tanpa mempedulikan aku yang masih kebingungan dia melanjutkan, “seharusnya kamu menghampiriku sejak pertama kali melihatku, apakah tidak cukup bagimu hanya dengan sekali menatapku untuk meraihku? Kenapa kamu harus menghabiskan waktu lebih dari sedetik, bahkan hingga puluhan jam? Hatiku terlalu lelah menunggu.” Dia berdiri dan berlalu dari hadapanku. Dia tinggalkan aku dengan sejuta pertanyaan dalam kebingungan, “Ah… dia benar, seharusnya empat hari yang lalu aku menyapanya.” Senja di sudut kampus, aku kembali mencarinya, namun dia telah lenyap ditelan bisuku.