Daerah

Simak Kesaksian Eks Narapidana Teroris Dan Eks Anggota Khilafatul Muslimin Asal Flores NTT

20230816 212920 1

SOROTNTT.Com-Tim Idensos SGW NTT Densus 88 AT Polri berhasil mengajak 14 orang eks anggota organisasi teroris dan radikal untuk kembali bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 15 Agustus 2023, Bertempat di Labuan Bajo.

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan didepan Bupati Manggarai Barat (Mabar), Selasa 15/08/2023, ke -14 orang tersebut menyatakan melepas Bai’at pada organisasi dan pemimpinnya, menyelesali segala kesalahan yang ingin menggantikan Pancasila dan UUD 1945 serta kembali bergabung dan setia pada NKRI.

Seperti dilansir Harian Jaraknews, Diantara ke-14 orang tersebut, terdapat 2 (dua) orang mantan narapidan Terorisme yang tergabung dalam kelompok Jamaah Islamiah (JI) dan Jamaah Ansharut Daulah [JAD], yakni Yanto (33 Thn) dan Fahmi (27 Thn)

Yanto warga Kampung Biting, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Eks JI

Yanto merupakan warga asli Desa Biting Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur. Pada kisaran tahun 2014-2015 ia bergabung dengan organisasi JI.

Setelah menamatkan pendidikan SD dan SMP di Elar, Yanto merantau ke Lamongan Jawa Timur melanjutkan pendidikan SMA ke salah satu pesantren di kota tersebut.

Selepas SMA, ia melanjutkan pendidikan Tinggi kejenjang S1 di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Setelah merai sarjana, Yanto sempat berniat kembali ke kampung halamannya di Elar. Akan tetapi karena ada tawaran pekerjaan di Surabaya, apalagi telah dijanjikan kemapanan ekonomi dan posisi strategis dalam perusahan, niat pulang kampung itu diurungkannya.

Pada saat bekerja di perusahaan ini yanto berkenalan dan direkrut oleh JI. Mirisnya, orang-orang yang merekrutnya adalah atasannya sendiri. Terkualah fakta bahwa, perusahan tempat ia bekerja selama ini ternyata milik anggota JI.

“Dari Direkturnya, kepala cabangnya, kepala keuangannya hingga beberap jabatan strategis lainnya semuanya adalah anggota JI aktif. Berbagai peran dimainkan, ada yang berperan sebagai pengatur keuangan, rekruitmen bahkan menjadi team Askari (militernya JI) Ungkap Yanto.

Setelah direkrut, meskipun belum bisa menjadi anggota aktif, oleh para petinggi JI, Yanto ditugaskan membantu perekrutan dan pembinaan anggota baru JI.

“Saya punya andil dalam menjadikan seseorang anggota JI” Ujarnya.

Lebih lanjut, Yanto menjelaskan bahwa organisasi JI adalah organisasi Teroris terbesar di Asia Tenggara. Visi dari organisasi ini adalah ingin membangun negara Islam raksasa di Asia Tenggara.

Organisasi ini pun mendirikan Champ Akademi Militer pada beberapa tempat di Asia tenggara, seperti di Mindanao Filipina dan di Patani di Thailand Selatan.

“Organisasi ini lintas negara. Ada hampir di seluruh negara Asia Tenggara, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam” ucap Yanto.

Pada tahun 2020, Yanto diamankan oleh Densus 88. Meskipun dirinya dijatuhi hukuman penjara selama 4 [empat] tahun, ia tetap bersyukur dengan kejadian tersebut, karena dengan begitu dia bisa keluar dari organisasi teroris dan kembali dalam pelukan NKRI.

“Kalau saya tidak di tangkap dulu, mungkin keadaan dan pikiran saya tidak berubah seperti saat ini, dimana saya bisa membuka diri terhadap yang lain” Ujarnya.

Pemahaman Islam dalam organisasi JI sangatlah eksklusif. Semua pemahaman lain diluar yang berbeda dianggap tidak benar dan harus diperangi.

BACA JUGA:  Gubernur VBL Lakukan Penyerahan Bantuan bagi SMA/SMK Se Kabupaten Sikka

“Semua pemahaman yang berbeda kita akan hantam, yang sama kita akan jaga” terang Yanto.

Dia pun mengungkapkan, banyak sekali organisasi teroris dan radikal di Indonesia. Selain JI, ada organisasi seperti JAT, JAD, MIT, ISIS dan begitu banyak yang lainnya bahkan tidak bernama, tapi memiliki tujuan yang sama ingin mendirikan negara Islam di Indonesia.

Pasca dibebaskan dari lapas Cibinong Bogor pada bulan September 2022 yang lalu, Yanto pun kembali ke kampung halamannya di desa Biting kecamatan Elar Kabupaten Manggarai Timur. Keseharian kini bergelut dengan usaha pengepulan dan pengolahan umbi Porang.

Bersama teman-teman lainnya, Yanto ingin mendedikasikan diri membantu pemerintah, khususnya pemerintah lokal, dalam menangkal perkembangan ideologi radikal yang ingin masuk ke Wilyah Flores.

“Pemahaman dan ideologi ini, asalnya dari luar, jangan sampai orang kita di Flores ini akan terperpengaruh”, kata Yanto mengakiri pembicaraannya.”

Fahmi Warga Kabupaten Ende Terjebak JAD

Tak jauh berbeda dengan Yanto, Fahmi seorang putra Flores yang berasal dari kabupaten Ende juga berbagi cerita pada momen tersebut.

Sejak lahir hingga tamat SMA, ia berada di kota Ende. Kota Pancasila yang terkenal dengan tingkat toleransi yang sangat tinggi.

Pada awalnya, Fahmi tak berbeda dengan orang Flores lainnya, terbiasa hidup rukun dengan tingakat pluralisme dan toleransi yang cukup tinggi. Semuanya berubah ketika ia bersentuhan dan mendapatkan doktrin dari para rekruitmen JAD.

Semua bermula ketika Fahmi berhijrah ke kota Kupang untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Muhammadiyah Kupang.

Dalam perjalanannya, saat semester dua, Dia berkenalan dengan seorang Ustadz asal Bima Nusa Tenggara Barat.

Karena fahmi ingin mendalami Ilmu agama, Ustad tersebut membantunya dalam memperbaiki (bacaan) Ayat Suci Alquran.

Untuk kepentingan tersebut Fahmi diminta untuk berhenti kualiah dari universitas Muhammadiyah, lalu di iming-iming akan dikuliahkan ke kampus yang lebih baik di Makasar, kampus STIBA [ Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab].

Dia pun diajak masuk ke salah satu pondok pesantren (lebih tepatnya rumah persinggahan sementara sebelum di kirim ke Makasar) di kota kupang. Menurut Fahmi, pimpinan pondok pesantren tersebut juga orang flores.

“Pimpinan pondonya orang Manggarai dan banyak santri juga berasal dari Manggarai,”bebernya.

Aktifitas dalam pondok pesantren tersebut, semuanya normal-normal saja, tidak ada kajian atau pelajaran yang mengarah ke hal-hal yang radikal. Tetapi, dalam pondok tersebut terdapat salah seorang Udztad yang merekrut dirinya dan beberapa teman- teman lainnya. Ustadz asal Bima tersebut lah yang secara sembunyi-sembunyi, saat Udztad lainnya sedang tidak berada di dalam pondok, melakukan pencucian otak terkait paham yang radikal.

“Keberadaan Udztad asal Bima dalam pondok pesantren tersebut sebenarnya oleh pemimpin pondok hanya untuk membantu memperbaiki bacaan (Al-Qur’an) para santri, tetapi dalam prakteknya dia mengajarkan hal yang lain” ungkap Fahmi.

Pada awalnya, semua hal yang diajarkan oleh Udztad tersebut dibantah Fahmi, karena bertentangan dengan Ajaran Islam yang dipaminya sejak kecil. Tetapi karena sering dilakukan pendekatan, kebaikan dan perhatian diberikan Udztad tersebut, juga sering dipertontonkan video- video tentang perjuangan Issis, ia pun berhasil di pengaruhi dan tertarik bergabung dengan JAD.

BACA JUGA:  Walikota Kupang Teken SAKIP Bersama Kepala Perangkat Daerah Lingkup Pemkot Kupang

Dalam perjalanannya, Fahmi tidak jadi dikirim kuliah ke STIBA Makasar, karena menurut Ustadz dari Bima tersebut, pemahamannya belum cukup kuat.

“Pemahaman ilmu Agama mu belum kuat dasarnya, nanti kalau kamu belajar disana (STIBA Makasar) kamu akan terpengaruh. Kalau kamu ke sana, Kamu tidak akan dapat ilmu seperti yang saya ajarkan ” ucap Fahmi menirukan perkataan Udztad tersebut.

karena tidak jadi disekolahkan ke STIBA, ia memutuskan kembali ke Ende. Di kampung halamannya, ia secara rutin mengakses website dari Issis dan organisasi teroris lainnya. Sikapnya pun berubah, cendrung tertutup, sehingga ia dikucilkan tetangga, dianggap menganut paham radikal.

Karena seringkali mendapatkan cibiran tetangga, Fahmi pun merasa tidak nyaman. Ia kemudian berpamitan dengan orang tuanya, lalu merantau cari kerja di Bogor Jawa Barat.

Selama berada di Bogor, Fahmi tidak lagi terlibat dalam aktivitas jaringan JAD, Ia hanya fokus dengan pekerjaannya. Menurutnya, sebelum berangkat ibunya meminta agar dirinya tidak lagi mengikuti aktifitas kelompok radikal.

Berselang beberapa bulan kemudian, ketika ibunya wafat, Fahmi kembali ke Ende lalu balik lagi ke Bogor.

Pasca kepergian Sang ibu, di Bogor Ia kembali akfit bermedia sosial. Fahmi pun terkoneksi dengan Jaringan JAD lainnya yang berada di Kalimantan. Orang- Orang ini disebutnya sebagai Ikwan.

Oleh para Ikwan, Fahmi diajak bergabung dengan jaringan yang berada di kalimantan Timur [Kaltim], tepatnya di kota Balik Papan.

Pada saat kawan-kawan anggota JAD lainnya aktif merekrut anggota baru dan melakukan berbagai perencanaan aksi Amaliah, Fahmi, tidak tertarik sama sekali dengan hal tersebut.

“yang ada dalam otak saya adalah bagaimana bekerja mengumpulkan uang sebanyak mungkin, lalu hijrah ke Suriah atau ke palestina. Tidak terlintas untuk melakukan aksi terorisme di Indonesia,” ungkap Fahmi.

Saat beredar berita tentang pemboman, juga berita tentang penangkapan para pelaku teroris di berbagai tempat, muncul ketakutan dalam dirinya, tetapi disaat ingin berhenti dan keluar dari organisasi tersebut, terasa begitu sulit dan menemui banya polemik dalam pikiran, dia merasa telah terjebak dalam organisasi tersebut. Lingkaran pergaulan yang sangat eksklusif, menyebabkan fahmi tidak bisa berbagi cerita dengan orang lain untuk mendapatkan solusi.

Dalam kondisi bimbang tersebut, Fahmi hijrah ke Samarinda, bekerja dengan seorang pedagang kebab yang merupakan seorang pengungsi dari negara Surya.

Warga negara Surya tersebut ternyata warga Daulah (anggota ISIS) di negaranya. Kepada Fahmi, Ia menceritakan tentang perjuangan ISIS di negaranya, semangat Fahmi untuk hijrah ke Surya dan Palestina bangkit kembali dan semakin besar.

Saat di Samarinda ini juga, Fahmi dikenalkan dengan seorang Ikwan (Sesama anggota JAD) yang mau berhijrah ke Gunug Biru [Poso], untuk berjuang bersama Santoso.

BACA JUGA:  Wagub NTT Hadiri Apel Kehormatan dan Renungan Suci

Sebelum berangkat ke Poso, Ikwan tersebut ditampung di kontrakan Fahmi. Karena hal ini, Ia kemudian ditangkap oleh anggota Densus 88 pada tanggal 19 November 2019 lalu.

Meskipun divonis dengan hukuman penjara selama 5 tahun, sama halnya dengan Yanto, Fahmi bersyukur dengan penangkapan tersebut.

Kini di kampung halamannya, Fahmi menekuni profesi barunya sebagai penjahit dan terus berupaya untuk melakuakan penyadaran kepada anggota organisasi radikal lainnya agar kembali ke pangkuan ibu Pertiwi NKRI”

Ismail Warga Golo Bilas, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Eks Khilafatul Muslimin

Perjumpaan Ismail, warga kampung Lobohusu Desa Golo Bilas, kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat dengan organisasi Khilafatul Muslimin [Kilmus] berawal pada tahun 2015 yang lalu. Dirinya dan beberapa orang lainnya, diajak untuk mengumpulkan infak untuk membangun masjid-masjid pada daerah yang belum memiliki masjid di Manggarai Barat.

Pada awalnya tidak ada yang ganjil dengan organisasi ini, Ismail pun bergabung. Pada tahun-tahun berikutnya, bersama yang lainnya mereka rutin melakukan perekrutan anggota pada beberapa kampung di Manggarai Barat.

Meskipun sering mendapatkan penolakan, Ismail dan kawan-kawannya tak patah semangat, karena menurutnya hal yang mereka lakukan adalah dakwah biasa dan tidak sedang ingin mengubah negara dan Pancasila.

Tahun 2017, Pak Ismail dan beberapa anggota lainnya ke Jakarta untuk mendeklarasikan berdirinya sistem kekhilafahan di muka bumi.

Pada deklarasi tersebut, menurut Ismail, tidak berbicara tentang rencana menguasai negara Indonesia, tetapi ingin menegakan sistem kehilafaan di atas muka bumi.

“Kami sering bertanya apakah gerakan ini ingin mengubah negara? Tidak jawab mereka, kita hanya ingin menegakan Sistem kehilafaan di atas Bumi ini,” ungkap Ismail.

Namun demikian, menurut Ismail, meskipun dikatakan tidak ingin menggantikan Pancasila dan UUD 1945, dalam prakteknya upaya ke hal tersebut sudah mulai terasa, misalnya mengganti KTP NKRI dengan KTP Khilafatul, juga dalam kajian tertentu selalu dikatakan pancasila dan demokrasi adalah buatan manusia yang tidak perlu di ikuti, kita hanya boleh taat pada Hukum Allah dan pada khilafah Abdul Qadir Hasan Baradja.

Dalam program kami, lanjut Ismail, “ditahun 2024, dakwah yang [akan] kami dilakukan harus bersifat keras, siapa yang menolak dan mengusir kami dari masjid- masjid seperti yang terjadi tahun 2017 kami akan fight (Lawan),”tandas Ismail.

Ia pun bersyukur karena pihak keamanan bertindak cepat mendeteksi pergerakan Khilafatul Muslimin, karena kalau tidak dicegah, maka pada tahun 2024 mendatang, puluhan ribu bahkan jutaan warga Kilmus akan datang ke Jakarta menuntut tegaknya sistem kehilafaan.

Soal pemahaman tentang akidah keislaman, ada perbedaan yang jelas antara Kilmus dan organisasi lainnya seperti JI dan JAD.

“Kalau dalam organisasi lain (JI dan JAD), orang yang berbeda pemahaman dianggap kafir dan harus diperangi, sedangkan dalam Khilafatul, orang yang tidak berbai’at dianggap Islamnya belum sempurna,”terang Ismail.

Lebih jauh Ismail berharap agar pemerintah lebih intens melakukan sosialisasi ke kemasyarakat terkait bahaya Intoleransi, radikalisme dan Terorisme.******”

Sumber: Harian Jaraknews