
Asumsinya, ada sebuah cerita. Terdengar, tak samar, politisi membahas perihal ideologi. Tentang ideologi partai politik (parpol). Pada bagian ideologi parpol, bukannya membahas intisari ideologi politik parpolnya, malah yang terjadi adalah fitnah dan stimatisasi parpol lain. Beberapa parpol yang disebut, dikaitkan melekat dengan “komunisme”.
Itu salah satu trik kampanye politik caleg menuju Pileg 2024. Sebut saja dia adalah oknum politisi. Oknum itu politisi Machiavellian: menghalalkan segala cara untuk menang. Ia tampak cemas, tapi seolah-olah masih berdaya. Mungkin masih ada sisa kekuatannya untuk menyelamatkan diri. Persis orang tenggelam, terpaksa merebut apa saja yang mengapung di atas atas. Kalau-kalau, seonggok kotoran banteng bisa menyelematkannya.
Demikianlan sekilas eksposisi atas ilustrasi oknum politisi yang gemar “political bullying”. Tampaknya, mulut lebih kekar dari kepala. Jadi, apa saja yang melintas di otak, bocor di mulut. Tanpa ada saringan argumen rasional. Gumpalan sentimen dan emosionalnya sudah menumpuk. Itu menumpulkan pikiran bernas dan etika politik.
Promosi sentimen ketimbang argumen adalah ciri khas demokrasi ala Post-Truth. Praktik politiknya penuh hoax, fake new dan verbal bullying. Hoax itu informasi yang tak berisi. “Joak mese”, kalau pakai istilah Manggarai. Fake news itu berita palsu. Berita palsu ini diproduksi secara massal (:amplifikasi) untuk mengaburkan fakta dan kebenaran. Sementara verbal bullying adalah pergunjingan atau omongan yang berisi kebencian (hate speech) dan fitnah.
Nah, kalau politisi berkampanye bahwa parpol A, B, C itu identik dengan komunis, maka itu hoax. Di negeri ini, ideologi komunisme sudah di-delete, bahkan empty reycle-bin. Komunisme adalah ideologi yang terlarang di Indonesia. Komunisme tidak bisa lagi di-restore. Trauma dan sejarah kelamnya membuat ideologi itu tak diizinkan muncul.
Di dunia saat ini, ideologi komunisme hanya ada di Negara Korea Utara. Sementara Rusia (induk komunisme), Kuba dan China sudah berideologi“pseudo-komunisme” (komunisme pura-pura). Persisnya, orang nyaris tidak lagi berbicara ideologi. Topiknya, Cuma ingi jadi negara maju dan modern, atau terjun bebas jadi failed-state (negara gagal).
Sebagai negara modern, Indonesia menggunakan sistem demokrasi. Politiknya adalah sistem multipartai. Semua parpol yang terbentuk berasaskan Pancasila. Pancasila merupakan philosofische grondslag bagi bangsa Indonesia. Setiap parpol mengambil sari dari filsafat Pancasila itu.
Atas dasar itulah, masing-masing parpol membuat positioning dan platform ideologi politik sendiri. Secara umum terbagi atas dua, yakni parpol nasionalis dan religious (Agama). Sebut saja, Golkar, PDIP, Demokrat, Nasdem dan PAN itu kategori partai berbasis nasionalisme; PPP, PKS, PBB, PKB dan Partai Umat dikatergorikan sebagai partai berbasis agama. Jadi, dengan ideologi politiknya, parpol berjuang untuk mencapai tujuan politiknya.
Idealnya, parpol itu sebagai perangkat edukasi politik, kaderisasi dan menuju kekuasaan. Dalam hal edukasi politik, parpol berperan mendiseminasikan nilai-nilai demokrasi dan budaya politik yang beretika. Dalam hal kaderisasi, parpol berperan membentuk politisi-politisi yang berintegritas. Dalam hal perangkat kekuasaan, parpol berjuang untuk meraih kepemimpinan yang amanah.
Dalam konteks itu, kepercayaan publik (public trust) pada parpol ditakar atas tindak-tanduk politisi dan kader-kadernya. Dengan kata lain, integritas dan ketokohan seorang politisi berdampak linear pada positioning dan public image parpol. Sebab, konstituen tercipta karena “kesukaan” pada politisi, bukan karena terikat ideologi partai politik.
Nah, kalau dalam konteks Pemilu, mayoritas publik tak memilih atas dasar fanatisme “kesadaran palsu” (:ideologi) parpol, tetapi justru karena simpati pada tokoh politiknya. Politisi-lah yang memberikan coat tail effect pada parpol. Karena itulah, jelang Pileg, nyaris tak ada peran kaderisasi politik partpol. Yang ada hanyalah usaha “kejar dan tangkap” peluang pada tokoh-tokoh yang dianggap populis di tengah masyarakat. Tujuannya, kursi kekuasaan dan bargaining politics parpol.
Pada Pilpres 2019, keterpilihan Jokowi dan Ma’ruf Amin adalah 90-an%. Prosentase itu tidak menunjukan bahwa masyoritas masyarakat NTT itu fanatik PDIP dan PKB. Masyarakat NTT itu hanya fanatik karisma dan kerendahan hati Presiden Jokowi. Terbukti, Jokowi telah berbuat banyak untuk NTT, bukan partainya.
Di Kabupaten Manggarai Timur, masyarakat Dapil I (Borong dan Ranamese) memilih Tarsisius Syukur (Caleg PKB) dalam Pileg 2019, bukan karena mereka bagian dari NU (Nahdathul Ulama), melainkan karena tertarik pada politisi yang telah lama terbukti berjuang untuk masyarakat.
Dengan demikian, berpolitik di tanah air ini, nyaris tak ada urusannya sama sekali dengan ideologi. Posisi ideologi parpol masih menjadi sebuah “kesadaran palsu”. Urusan politik adalah urusan kepentingan: kekuasaan. Seorang kader partai yang telah 15 tahun sebagai Ketua atau Sekretaris Parpol, belum tentu otomatis berideologi parpol. Ia tetap seorang politisi. Bisa jadi, karena gagal menjadi wakil bupati, ia pindah partai; atau karena ingin menjadi calon bupati, ia pindah partai. Itu lumrah sebagai tabiat politisi. Urusannya bukan ideologi, melainkan kekuasaan politik. Itu saja!
Lantas masihkan kita terjebak dalam “kesadaran paslu” parpol? Sudahlah. Kalau ada politisi yang masih berkampanye perihal pilihan berdasarkan ideologi atau memfitnah parpol lain, sebenarnya ia sedang tak baik-baik saja; atau ia sedang menjegal politisi lain yang sumber kepanikan langkah catur politiknya.
“The empires of the future are the empires of the mind”, kata Winston Churchill. Pikiran yang baik menentukan masa depan (politik) yang baik. Untuk itu, kepada politisi, berkampanyelah argumentasi yang benar dan beretika. Neka conga bail, boto poka bokak; neka tengguk bail, jaga kepu tengu! Jangan angkuh, pas-pas sajalah!
Alfred Tuname
Esais