Daerah

Ritual Adat Roko Molas Poco Mbaru Gendang Ting Tuke

Img 20230825 wa0047 1

Oleh: Petrus Mbana (Panitia Pembangunan Rumah Adat Ting Tuke)

Roko Molas Poco merupakan salah satu bagian dari tradisi yang khas dalam budaya Manggarai. Tradisi ini menunjukan di salah satu kampung membangun Rumah Adat atau Mbaru Gendang. 

Secara harafiah Roko Molas Poco terdiri dari tiga kata, Roko berarti pikul atau memikul bersama, Molas yang berarti cantik atau menawan dan Poco berarti Gunung atau hutan. 

Tradisi ini diartikan sebagai memikul secara bersama-sama kayu terbaik dari gunung atau hutan. Dalam konteks ini orang Manggarai memandang siri bongkok sebagai orang luar, “gadis hutan” yang sudah dipinang dan masuk menjadi anggota dan bagian dari suku. 

Dengan demikian orang Manggarai melihat Siri Bongkok tidak hanya sebatas pada kayu semata-mata, tetapi lebih dari itu sebagai seorang pribadi atau perawan hutan yang akan memberikan kehidupan, keturunan, kesuburan bagi manusia, sebab dia adalah simbol yang menghubungkan manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya dan manusia dengan Wujud Tertinggi.

Ritus memikul (Roko) sebuah tiang utama (Siri Bongkok) dari sebatang kayu terbaik yang disimbolkan sebagai gadis cantik (Molas) yang datang dari gunung/hutan (Poco). Siri bongkok adalah tiang utama yang berdiri tegak lurus di tengah bangunan Mbaru Gendang. 

Tiang ini menghubungkan ketiga ruangan yang ada dalam rumah adat (Mbaru Gendang) yakni Ngaung, Lutur dan Lobo. Oleh karena itu, bagi masyarakat Manggarai Siri Bongkok merupakan poros yang berada di tengah-tengah yang berperan untuk menghubungkan tiga ruangan itu memiliki arti dan nilai supranatural. 

Siri Bongkok merupakan simbol atau melambangkan pribadi yang menjadi perantara antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan wujud Tertinggi. 

Adapun prosesi acara adat” Roko Molas Poco” ini  dilakukan oleh Suku Ting Tuke, Desa Satar Ngkeling, Kecamatan Wae Rii, Kabupaten Manggarai, NTT, pada 23 Agustus 2023.

Suku Gendang Ting Tuke sebelum melakukan ritual adat Roko Molas Poco, ada berbagai tahapan atau proses yang dilakukan di rumah adat atau Mbaru Gendang. 

Prosesnya mulai dari merencanakan pembagian tugas atau panitia resmi hingga mempersiapkan khusus kelompok yang akan menebang serta mengambil pohon kayu terbaik di hutan. 

Suku Ting Tuke melaksanakan kegiatan ini seperti pada umumnya kebiasaan orang Manggarai dimana semua bentuk musyawarah dilakukan di rumah adat dengan sebutan Lonto Leok atau duduk melingkar bersama Tu’a Golo dan Tu’a Teno dan Tetu’a-Tetu’a suku Ting Tuke. 

BACA JUGA:  Diduga Kualitas Buruk, Pengerjaan Jalan Lapen di Langgo Diprotes Warga 

Setelah musyawarah bersama di Mbaru Gendang terkait Roko Molas Poco, selanjutnya warga suku Ting Tuke dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok Roko Molas Poco yang bertugas ke hutan menebang pohon. 

Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok Curu Molas Poco yang bertugas akan menjemput Molas Poco. Kelompok yang ditugaskan ke hutan sebelum ke hutan juga sebelum batang pohon yang merupakan kayu pilihan ditebang terlebih dahulu memohon restu dari leluhur. Kemudian kayu tersebut ditugur selama beberapa pekan sampai penunggu kayu tersebut (roh-roh hutan) meninggalkanya. 

Selanjutnya, masih terkait sebelum dilakukan prosesi ritual adat Roko Molas Poco, warga suku Ting Tuke menggelarkan ritual adat teing hang meminta restu para leluhur dengan pemberian sesajian di altar sesajian (Compang) yang dipimpin oleh Tu’a Golo dan Tukang Torok, acara ini dilaksanakan pada malam hari

Pada waktu prosesi ritual adat Roko Molas Poco yang dilaksanakan pada pagi hari tepatnya dimulai pada pukul 08.00 WITA, Pihak Anak Rona menanti di tempat penyimpanan sementara (ditugur) batang pohon yang menjadi Molas Poco dengan anak gadis yang cantik (Molas) yang diutus dari pihak Anak Rona. 

Sedangkan kelompok Roko Molas Poco dan kelompok Curu Molas Poco bersama-sama berkumpul di rumah adat dan bersama-sama berarak menuju ke tempat tugas  masing-masing yang dipimpin oleh Penutur (Tukang Torok) dengan Tu’a Golo dan Tu’a Teno dan Tetu’a-Tetu’a suku Ting Tuke, mereka dilengkapi dengan kostum putih dan kain songke Manggarai membalut badan mereka di bagian bawah serta destar di kepala.

Kelompok Roko Molas Poco menuju ke tempat penyimpanan sementara batang pohon yang menjadi Molas Poco dan kelompok Curu Molas Poco menuju ke Pa’ang Beo (gerbang kampung). 

Sebelum kelompok  Roko Molas Poco memikul pohon yang telah di buat seperti balok besar berbentuk bulat dan gadis cantik duduk di atas kayu atau balok besar tersebut terlebih dahulu dilakukan ritual Tuak Kepok kepada pihak Anak Rona dan pihak Anak Rona mendaraskan permohonan kepada leluhur mereka sendiri agar direstui oleh leluhur pihak Anak Rona. 

BACA JUGA:  Dandim 1612 Manggarai Mendampingi Bupati Meninjau Lokasi Jalan Longsor Ruteng-Reo

Setelah itu, mereka bersama-sama berarak menuju ke Pa’ang dan ditemani para penari (Ronda) dan getaran mistis begitu terasa menandakan roh para leluhur telah hadir (Ase Ka’e Ting Tuke tak terasa mengeluarkan air mata (menangis/terharu) saat memulai kayu jumbo itu mereka pikul) dan kelompok Curu (penjemput) telah menunggu. 

Setelah sampai di Pa’ang, kelompok curu melakukan ritual Tuak Curu, lalu mereka bersama-sama berarak pohon yang telah di buat seperti balok besar berbentuk bulat dan gadis cantik duduk di atas kayu atau balok besar tersebut menuju Mbaru Gendang dengan tarian serta bunyi gendang dan gong yang saling bersahutan. Tidak hanya tarian, lagu-lagu adatpun dinyanyikan.

Sementara di tengah kampung telah duduk ratusan para tokoh baik dari pemerintah, tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat dengan para tokoh adat yang diundang dari tempat lain. Mereka menyambut tamu agung Molas Poco. Kayu suci yang telah didoakan itu diturunkan. Ucapan selamat datang bagi tamu istimewa ini meluncur dari kepala suku. Deretan mantra diucap berentetan seperti menyanyi.

Suasana menjadi hening ketika Molas Poco (anak gadis yang cantik) menginjak telur (Wedi Ruha)  yang dipimpin oleh para penutur (Tukang Torok). Orang Manggarai memandang Siri Bongkok sebagai pengantin perempuan sudah dipinang. Karena itu ia juga akan menginjak telur dalam ritus Weri Siri Bongkok, sebagai simbol bahwa ia telah meninggalkan roh-roh hutan dan kini bersatu dengan manusia. 

Setelah itu Siri Bongkok ditempatkan pada posisinya karena Siri Bongkok merupakan salah satu tiang yang sakral dari semua tiang yang ada di rumah adat (Mbaru Gendang), posisi Siri Bongkok sangat sentral. Siri Bongkok memiliki makna yang mendalam dalam kehidupan orang Manggarai. Ia berada dalam lingkaran makna Go’et Manggarai (ungkapan) “Gendangn One, Lingkon Pe’ang” (Gendang sebagai pusat kehidupan, kebun komunal sebagai sumber kehidupan). Ada hubungan yang sangat esensial antara gendang dengan kebun komunal (Lingko).

Detik-detik yang menegangkan saat kayu balok besar berbentuk bulat (Siri Bongkok) akan berdiri dengan berat hitungan ton, ini kelihatannya sebagai pekerjaan berisiko tinggi, akan tetapi berjalan mulus walaupun rentang waktunya kurang lebih tiga (3) jam. Pada saat itu getaran mistis begitu terasa juga menandakan roh para leluhur telah hadir, Ase Kae Ting Tuke menangis terharu sambil tepuk tangan bersama para undangan membahana. Sebuah tanda kelegaan dan kegembiraan atas suksesnya penancapan Siri Bongkok secara meriah dan mengagumkan.

BACA JUGA:  Warga Benteng Jawa Keluhkan Listrik PLN yang Sering Mati

Di dekat Siri Bongkok sebagai pengantin baru diterima dilakukan ritus adat Hese Ngando. Ritus ini dipimpin oleh salah seorang penutur (Tukang Torok) yang dipercayakan. Tata cara upacaranya seorang pemimpin memegang seekor ayam jantan sambil mengahadap Siri Bongkok, sementara peserta lain duduk mengelilinginya. 

Selesai didoakan ayam persembahan disembelih dan darahnya dioleskan pada Siri Bongkok dan bahan bagunan lain. Pengolesan darah binatang korban bermaksud simbolis bahwa dengan ritus tersebut diharapkan Wujud Tertinggi melalui arwah nenek moyang merestui dan memberi kekuatan pada kayu-kayu dan bahan bangunan tersebut. Darah korban juga melambangkan keselamatan. Dengan demikian benda-benda yang direciki darah korban memperoleh kekuatan, keselamatan dan memberikan perlindungan dan kerukunan. 

Siri Bongkok adalah tiang utama atau tiang tengah yang berdiri tegak lurus dari tanah sampai ke bubungan rumah. Tiang ini menghubungkan ketiga ruangan yang ada dalam Mbaru Gendang yakni Ngaung, Lutur dan Lobo. Karena itu bagi masyarakat Manggarai Siri Bongkok dapat disamakan dengan poros dunia atau axis mundi. 

Poros dunia yang terletak di pusat dunia dan berfungsi sebagai penghubung antara ketiga lapisan dunia. Melihat posisinya yang berada di tengah-tengah dan peranannya yang menghubungkan ketiga dunia tersebut, masyarakat Manggarai memandang Siri Bongkok sebagai tiang yang memiliki arti dan nilai supranatural. 

Siri bongkok merupakan simbol yang melambangkan “pribadi’ yang menjadi perantara antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya dan manusia dengan Wujud Tertinggi. Peranan pribadi pengantara tersebut, hadir dalam dan diwakili oleh Wura agu Ceki. 

Dengan demikian Siri Bongkok bukan hanya merupakan benda mati atau sebatang kayu, tetapi merupakan pribadi yang memberi dasar kekuatan bagi keberlangsungan masyarakat Manggarai. Ia adalah simbol kehadiran Wujud Tertinggi yang tinggal dan berada di tengah-tengah masyarakat Manggarai. Kesadaran akan kehadiran Wujud Tertinggi dalam simbol-simbol itu terungkap dalam ritus-ritus khusus yang berkaitan dengan Siri Bongkok.