Membaca = Berbicara
Melodi itu pertama-tama menggaung dalam diri saya di awal thn 80-an, ketika di novisiat tahun kedua, semua frater novis diberitahu oleh magister kami Pater Kallix Suban Hadjon SVD utk mengikuti pelatihan penulisan drama, bertempat di salah satu aula kelas, sebelahnya kompleks para studiosi, hari Kamis, seharian.
Sebagaimana diketahui, dulu, Kamis adalah hari libur kuliah. Untuk frater-frater tingkat dua dan tiga, beberapa dari mereka pada hari ini pergi mengajar agama di beberapa SMP di Koting dan Nita sampai beberapa SMP di Maumere dan SMA Santo Gabriel.
Tutor training ini adalah frater Frans Ndoi. Pater Kallix beritahu bahwa Frater Frans ini barusan pulang dari Jawa mengikuti writing training program.
Ternyata apa yang kami dapatkan ialah sebuah kemewahan. Saya lupa judul trainingnya. Tapi saya ingat betul, tidak ada teori. Tadinya saya berpikir semacam kuliah.
Benar bahwa frater Frans memberikan teori. Tapi tidak tersendiri. Dia menjelaskannya sambil lalu di sela-sela praksis. Misalnya, membaca sebagai berbicara. Dia mengambil teks tulisan lalu membaca untuk dirinya sendiri. Kadang cepat, cepat-cepat, kadang dengan suara jelas, surau, kadang tersenyum sendiri, dan kadang hampir tak terdengar. Reaksi kami: tersenyum terheran-heran, yang dalam istilah Maumere disebut: senyum kangaranga!