Korupsi dan Perawatan Wajah

Img 20231014 wa0101 1

Perawatan wajah sebenarnya urusan privat. Sesuatu yang privat itu berwajah publik manakala urusannya beririsan dengan uang negara. Segepok uang negara diakumulasi untuk mengawetkan wajah keluarga pejabat.

Tidak jadi soal kalau keluarga pejabat pergi ke salon wajah menggunakan uang pribadi. Uang pribadi itu adalah pendapatan yang sah seseorang setelah dipotong pajak. Yang haram adalah uang pajak dibajak sebagai pendapatan. Pejabat negara biasanya begitu, gaji besar tetapi “pendapatan” lebij melimpah.

Syahrul Yasin Limpo (SYL) diduga memanfaatkan jabatannya untuk “memegahkan” dandanan keluarga. Maklum, ia pejabat negara. Jabatannya sebagai Menteri Pertanian (Mentan) itu tidak main-main. SYL itu mengurus masyarakat Indonesia yang mayoritas petani. Dari urusan pupuk hingga teknologi pertanian, ada di pundaknya.

Sayangnya, SYL tak cukup peduli soal tanggung jawab di pundaknya. Urusan virus tanaman, varietas padi, teknologi pertanian dan swasembada pangan itu urusan teknokrat di Kementerian Pertanian. Yang penting masih ada jatah impor beras. Fee-nya cukup untuk urusan keluarga dan setoran partai politik. Sementara jabatan menteri bisa dikonfersi menjadi sejenis currency: untuk umroh dan travelling ke luar negeri. Healing ke luar negara itu biasa bagi pejabat.

BACA JUGA:  Fase Krusial Pemilu 2019

Tabiat itu masih dugaan tow, pak menteri? Tuduhan KPK belum tentu benar. Fakta pengadilan akan membuat semuanya menjadi terang-benderang. Jalani saja prosesnya. Publik hanya meminta keadilan. Perihal benar dan salah itu urusan hakim.

Nah perihal korupsi SYL sebenarnya bertautan dengan wajah publik pejabat kita. Bopengnya ditambal dengan “blush on powder” religius dan dermawan. Terlihat soleh dan karismatik, ternyata semua itu diongkos dari hasil korupsi.

Wajah publik pejabat kita sebenarnya penuh kasak-kuyuk dan intrik busuk. Muaranya adalah penumpukan kekayaan. Kalau tak bisa ditumpuk, sebagian dilakukan dengan pencucian (:money laundring). Lumayanlah, kekayaan itu tak “kering” tujuh-turunan.

Yang benar-benar “kering” adalah sebagian masyarakat Indonesia. Sehabis pandemi Covid-19, masyarakat mencuci muka untuk melihat harapan baru. Habis pandemi itu, masyarakat terbakar dan lapar akibat anomali cuaca dan kemarau panjang. Ekonomi baru bangkit, mulai terhalang turunnyanya angka Nilai Tukar Petani (Farmer’s Exhanger Rate). Harga beras naik, tetapi biaya hidup dan harga barang produksi naik berkali lipat.

Perihal produksi, petani paling tahu soal harga pupuk dan kelangkaannya. Petani juga paling tahu soal begadang malam sekadar jaga aliran air sawah. Tenaga harian panen Rp 80 ribu per orang. Alat produksi dikuasai pemilik modal. Berat jadi petani.

BACA JUGA:  Penyidik Kejari Mabar Serahkan Berkas Perkara Korupsi Aset Pemda Mabar ke JPU

Memang ada bantuan teknologi pertanian tepat guna. Tetapi itu melalui alur atensi anggota DPR RI. Persis bantuan dana PIP (Program Indonesia Pintar), jalurnya melalui intensi anggota DPR RI. Jelas, maksudnya ada tukar-tambah politik di balik sumbangsi. Jadi, pemerintah tak benar-benar berniat bantu petani atau pelajar. Bantuan itu buah negoisasi politis eksekutif dan legislatif agar suara DPR tidak sumbang. Itulah rasional intrumental langgam politik republik ini.

Irasionalnya, kala petani tak gentar kulitnya terpanggang matahari, sang Mentan justru gemar melakukan perawatan wajah keluarga. Mungkin itulah bedanya pejabat dan rakyat: pejabat dan keluarganya lapar penampilan; rakyat tampil dengan lapar tak berkesudahan.

Lapar memang tak pernah berkesudahan kalau tak ada swasembada pangan. Swasembada pangan hanyalah jargon sebab pejabat negara doyan impor. Impor pangan semakin menjadi-jadi kala kebutuhan perawatan wajah, cicil Alphard, setor partai politik dan ongkos travelling ke luar negeri semakin tinggi.

BACA JUGA:  GURU: JALAN MENUJU KEBENARAN

Benar-benar pejabat yang tak punya etika dan hati nurani. Bermegah di atas penderitaan petani. Yang dirawat seharusnya nurani, bukan wajah. Wajah seharus bisa melahirkan etika. Itu etika Levinasian. Bahwa pada wajah-wajah petani yang miskin dan sengsara, sang Mentan bertekad untuk mensejahterakan mereka dengan kebijakan yang inovatif. Petani sejahtera, bangsa jaya!

Etika negawan seharusnya begitu. Negarawan sejati itu tak bisa tidur kalau rakyatnya masih menderita. Ia pasti selalu lembur untuk meluhurkan nasib bangsa. Negarawan sejati itu bukan pesolek, apalagi dari hasil korupsi jabatan.

Bangsa ini ternyata masih butuh negarawan. Tentu negawaran tak bisa muncul dari partai politik. Tak ada kaderisasi ideologis dalam partai, hanya ada “dealer-isasi” transaksional. Mungkin negarawan bisa muncul dari kaum profesional, teknokrat atau intelektual. Asal ia bukan Rektor Universitas. Rektor itu ranting politik.

Semoga Mentan yang akan datang adalah seorang negawaran. Ia bukan petugas partai, tetapi benar-benar petani bangsa. Ups, bukan pesolek lagi ya!

Alfred Tuname
Esais