
Oleh: Gerard N. Bibang
Selalu menuju; senantiasa pergi dan bukan sampai; selalu exit dan tertuju; itulah hakekat kemaklukan; tidak mutlak harus sampai ke kefitrian; tidak ada makhluk yang wajib sampai ke Allah, seketika dan di dunia
Yang prinsip adalah menuju-nya, bukan sampai-nya; yang utama adalah pergi-nya, bukan ketibaan-nya; jikalau Sang Maha Fithri berkenan menarikmu untuk sampai dan menyatu dengan-NYA, ya, bersyukurlah!
Menuju dan mudik itu, sama; bukan sampai; itulah perjalanan kemakhlukan; bukan hanya sampai pada Idul Fitri; karena kita tidak pernah sampai; andaikan Idul Fitri hanyalah sebuah momentum yang dinanti sesudah dipaksa berpuasa tiga puluh hari; kemudian merasa lega karena tidak harus tersayup-sayup membuka mata dan menggerakkan tubuh untuk makan sahur lagi; andaikan paskah adalah titik akhir dari berpuasa selama sebulan; maka sesudahnya boleh berhenti berikhtiar dan merasa sudah tiba pada pencapaian final
Andaikan Idul Fitri adalah saat kita merasa merdeka dari kewajiban seperti kanak-kanak menjalani latihan menahan diri, tak makan tak minum dari pagi hingga senja; lantas bersama keluarga pergi shalat di lapangan dengan rasa lepas dendam; begitu juga selesai hari paskah langsung berpesta-pora karena mencapai kemenangan besar sehingga tak perlu lagi upaya-upaya yang bersifat menuju dan pergi
Dan andaikan Idul Fitri adalah pada akhirnya menikmati cengkerama dengan sanak famili, bersilaturahmi, bermaaf-maafan; kemudian semua itu kita akhiri dan kembali ke perantauan, bekerja, mencari nafkah, menghimpun kekayaan atau mempertahankan penghidupan; dan andaikan setelah paskah, status quo adalah tempat untuk kembali lagi beraksi
Andaikan itulah Idul Fitri, andaikan hanya demikian itulah Idul Fitri, andaikata paskah hanya sebatas hari raya besar dan bermegah-megah, maka perayaan itu hanya kebudayaan; yang mungkin indah, tetapi tidak ada jaminan bahwa terkandung di dalamnya suatu kualitas rohani; atau mutu sejarah; perayaan itu hanyalah bedug yang ditabuh dengan aransemen tertentu setahun sekali; ia hanya ketongan atau lesung yang dipukul untuk menandai suatu peristiwa rutin; ia hanya pagi yang menerbitkan matahari dan senja yang menenggelamkannya, yang berlangsung setiap awal hari dan malam hingga larut; terkait paskah, ia hanyalah lonceng yang memanggil untuk ibadat dan berdoa pada setiap hari minggu dan hari tertentu
Maka perayaan-perayaan itu hanya alam yang diselenggarakan; atau paling jauh ia hanya kebudayaan yang beku, yang melewati rentang waktu dengan tetap membawa kebekuannya; engkau merasa tiba padahal sejatimu engkau tidak pernah sampai; engkau merasa wah padahal sejatimu engkau bukanlah siapa-siapa dan belumlah apa-apa
Menuju-lah hakekat setiap makhluk
Ke titik tiba yang ditakdirkan oleh-NYA
Ayunlah langkahmu sejauh-jauh merengkuh
Sebab tak pernah engkau tahu kapan mendarat di alas tiba
***(gnb:tmn aries:senin:27.4.23: menjelang Idulfitri)