Namanya Rani

Hujan tak turun lagi. Angin semakin kencang seperti kemarin. Di halaman rumah yang berukuran 9×25, daun kering berserakkan. Di samping pintu gerbang ada pot bunga yang tanahnya sudah mulai keras dan bunganya sudah mati.

Maklum, musim kemarau tahun ini benar-benar ganas. Tapi ini akan berakhir dalam waktu dekat. Sebab, di langit sana awan mulai menumpuk membentuk bulatan tidak teratur.
Di bibir pantai, seorang gadis sedang mengatup doa dan merenung harapan. “Tuhan, masih melindungiku” desahnya.

BACA JUGA:  Kopi Kebohongan

Rani gadis 18 tahun. Ranialista Undut, begitulah nama lengkapnya. Dia dikenal alim, pintar dan suka menyendiri. Demikian kesan Vani teman kelas Rani sekaligus tetangga rumah.

Rani jarang keluar rumah sepulang sekolah. Belajar kelompok bersama teman-teman selalu absen. Seringkali, Heran, wali kelas Rani memberikan hukuman atas dirinya. Nilai rapor Rani tidak ada angka tujuh. Bukan mustahil, juara satu umum selalu diraihnya, bahkan pernah menjuarai lomba sains tingkat Provinsi di ibu kota.

BACA JUGA:  Pacar, Bukan Jodoh

Heran, wali kelas Rani hanya memberikan hukuman ringan atas Rani. Heran sadar atas kemampuan anak muridnya itu. Sebagai wali kelas, Heran tetap berlaku adil.
Ayah Rani sudah meninggal sejak Rani kelas dua SMP. Satu tahun kemudian, ibunya menikah lagi dengan seorang pria yang menjadi ayah tirinya sekarang. Dari hasil pernikahan itu, Rani memiliki dua orang adik laki-laki. Mereka lima orang di rumah. Sebagai seorang kakak, Rani bertanggung jawab atas adiknya.